Belakangan ini konflik keagamaan mendapatkan perhatian serius. Dua kasus yang mencuat adalah konflik GKI dengan penduduk setempat dan konflik Gua Maria. Konflik GKI bermula dari persoalan izin, sejak tahun lalu, kemudian merambah ke berbagai persoalan lainnya yang mencederai ketentraman hidup beragama di Bogor, khususnya Bogor Barat. Sementara itu, di Jawa Tengah pun terjadi “keganjilan” yang memunculkan potensi konflik antar umat beragama, setelah pada Kamis lalu diketahui bahwa Gua Maria dirusak oleh “sosok” tidak dikenal. Keduanya perlu mendapatkan perhatian serius sebab beberapa hari lagi salah satu umat agama di negeri ini akan merayakan hari besar.
Dua konflik tersebut menambah rentetan sejarah konflik keagamaan di negeri yang berpandangan pada keberagaman agama ini. Tidak aneh memang di negeri ini muncul berbagai kasus-kasus yang potensial terhadap konflik agama sebab sudah jadi konsekuensi keberagaman agama. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana peran negara dalam menyikapi konflik-konflik tersebut? Pun bagaimana menghadapi kemungkinan terjadinya konflik agama di masa-masa mendatang?
Saya tidak bisa memastikan apakah negeri ini tergolong sebagai negeri religius atau tidak religius, karena klasifikasi seperti itu cukup sulit bila mengacu pada realitas bangsa serta nilai-nilai multireligi yang ada di negeri ini. Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa agama, meski yang diakui negara hanya lima agama. Masyarakat Indonesia dominan merupakan umat beragama. Tetapi, faktanya negeri ini masih sulit menerapkan prinsip dan nilai-nilai keberagaman agama yang diwujudkan ke dalam plural.
Dalam sejarah bangsa, di Nusantara dahulu terdapat bermacam-macam kepercayaan, bahkan hampir masing-masing etnis memiliki kepercayaan religinya. Di tanah etnis Batak ada Parmalim, sementara di Sunda dan Jawa masing-masing ada Sunda Wiwitan dan Kejawen. Kepercayaan-kepercayaan tersebut bisa disebut sebagai religi-etnis masing-masing, yang menganut suatu nilai kepercayaan terhadap adanya kuasa metafisis atas kuasa alam raya. Agama bukanlah semata medium-ritual terhadap Tuhan, melainkan banyak nilai dan pesan (moral dan politik) yang terkandung di dalam suatu agama.
Agama harus dipandang oleh negara sebagai suatu aspek pendorong kemajuan bangsa sehingga tidak lagi dilalaikan. Seminimal-minimalnya, negara mampu menciptakan ruang publik sebagai media komunikasi antar umat agama. Tanpa komunikasi, suatu perspektif akan menjadi kebenaran absolut di tengah-tengah kehidupan bernegara ini. Seperti paparan Habermas dan Ratzinger, Dialektika sekularisasi: Diskusi Habermas - Ratzinger dan Tanggapan (Ledalero, 2010), mengungkapkan pentingnya sektor agama masuk ke ruang publik dalam tujuan-tujuan komunikasi. Meski kedua-kedua beranjak dari tatanan filosofis yang “bertolakbelakang”, namun Habermas dan Ratzinger sama-sama mengupayakan adanya persimpangan antara agama dengan rasionalitas (sekuler) yang menjadi corak kehidupan negara (pasca)modernitas saat ini.
Di dalam komunikasi kita mampu membuka ruang-ruang tertutup maupun perspektif-perspektif tertutup untuk dibuka. Masing-masing agama pastilah memiliki kebenaran dari ajaran yang dianut. Bagaimana menemukan titik perbedaan kebenaran tersebut tanpa merusak tatanan kebenaran orang lain merupakan tugas komunikasi publik tersebut. Isi kebenaran (truthcontent) akan tersampaikan ke publik di ruang publik sehingga meminimalisir potensi-potensi perbedaan perspektif yang menjadi “bibit” potensial konflik tersebut. Minimalisir itu terjadi, maka terjadilah hubungan solidaritas antar umat beragama (potensi motivasional) atas ketahuan maksud dan tujuan suatu tindakan masing-masing umat agama.
Komunikasi seperti itu merupakan komunikasi sekuler, namun Habermas menyebutnya sebagai pascasekuler. Komunikasi ditengahi oleh adanya peran negara. Negara tidak mengganggu agama. Pun sebaliknya, agama tidak menganggu negara. Ruang-ruang komunikasi tersebut bisa dilakukan di auditorium atau di mana pun ruang strategis bagi publik dengan menghadirkan para pemuka agama terkait. Misalnya, ruang komunikasi antara pihak GKI dengan warga setempat (lokasi GKI) dibukakan forum oleh negara secara terbuka yang ditengahi oleh negara pula dalam memantau batasan-batasan hukum negara.
Jadi, melihat kondisi negara (yang mungkin demokratis) ini sudah sewajarnya negara berperan dalam membuka diskursus-diskursus keagamaan antar umat beragama demi menghilangkan adanya potensi-potensi konflik keagamaan. Konflik agama itu dapat dihilangkan dengan cara rasional, bukan dengan cara-cara kekerasan, brutalisme, maupun dengan cara arogansi keagamaan. Arogansi keagamaan yang menganggap suatu agama paling benar sehingga agama tersebut harus dibela, dan agama lain menjadi korban.
Akhir kata, saya kutip pernyataan Kardinal Maritini dalam Dua Khotbah Dari Iman Sebuah Pertentangan (Jalasutra), “hukum (negara) tidak memiliki hak untuk menyensor cara hidup umat selama ia tetap mematuhi hukum tersebut.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H