[caption caption="foto: puskim.pu.go.id"][/caption]
Hampir seluruh pembicara dalam ajang tahunan Borobudur Writer and Cultural Festival 2015 bersepakat bahwa gunung meletus bukan bencana. Masyarakat Nusantara, di era sebelum penjajahan, menganggap bahwa gunung merupakan berkah alam. Apa pun yang terjadi di gunung, mereka tidak menganggap itu bencana.
Salah satu pembicara menceritakan bagaimana salah satu kelompok masyarakat di Pulau Jawa dahulu tidak lari pontang-panting ketika ada tanda-tanda gunung akan meletus. Bahkan, masyarakat tersebut memuja, bahwa tanda-tanda itu tidak lain sebuah berkah yang bakal menghidupi masyarakat setempat.
Masyarakat dahulu, sebelum invasi penjajahan ke Tanah Air, memang dikenal ramah lingkungan. Banyak hal kehidupan terkait dengan alam. Wajar bila memahaminya sebagai satu kesatuan dengan alam. Bayangkan saja, dari hal ihwal religiusitas hingga tempat tinggal dikonstruksi sesuai “kebutuhan” alam sekitarnya.
Umumnya rumah dahulu berbentuk panggung. Selain berguna menghindari hewan-hewan buas, rumah panggung juga ada yang memang didesain tahan gempa. Salah satunya rumah adat Batak Toba, disebut Rumah Bolon. Para sejarahwan menyatakan bahwa rumah panggung Rumah Bolon tahan terhadap gempa. Awal mulanya, rumah tersebut didesain tahan gempa karena adanya peristiwa letusan besar di sekitar daerah setempat, yang kini menjadi Danau Toba.
Entah mengapa, sejarah selalu saja menjadi kenangan belaka. Seakan membenarkan adigum populer, sejarah tidak akan terulang kembali. Rumah panggung mulai ditinggalkan. Rumah mulai tak memikirkan kondisi alamnya. Rumah dibangun hanya menguatamakan tiga prinsip, yakni kekokohannya, efisiensi, dan sedap dipandang (estetika). Prinsip ramah lingkungan seakan terabaikan.
Lihatlah rumah-rumah modern saat ini. Umumnya mengacu pada gaya rumah orang asing, seperti Eropa dan Amerika. Padahal, kondisi alam dua benua itu tidak sama dengan kondisi alam di Indonesia. Rumah dibangun tanpa menyesuaikan kondisi alam dan lingkungan.
Untunglah, Pemerintah, melalui Kementerian PUPR, mampu berinovasi. Rumah-rumah ramah lingkungan mulai dibangun di wilayah-wilayah tertentu. Kementerian PUPR mengembangkan produk anyar dalam perumahan ramah lingkungan dan tahan terhadap gempa. Ini artinya, pemerintah mampu memberi solusi atas kondisi perumahan yang mulai meninggalkan kondisi alamnya itu.
Rumah Risha. Begitu produk tersebut dinamai. Nama ini merupakan singkatan Rumah Instan Sederhana Sehat. Satu keunggulannya ialah kecepatannya (instan). Namun, satu hal latar pembuatan rumah Risha ini ialah penyesuaian dengan kondisi alam agar mampu menahan gempa.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin menegaskan hal itu. Dia menyatakan kepada wartawan, Sabtu (14/12/2015), teknologi Risha adalah rumah tahan gempa. Rumah ini ditujukan bagi daerah rawan gempa.
Melalui laman resminya, PUPR menyatakan tujuh keunggulan Risha. Pertama, efisiensi tenaga kerja pembangunannya. Kedua, jaminan mutu. Ketiga, rmah lingkungan. Keempat, efektivitas bahan bangunan. Kelima, peluang lapangan pekerjaan. Keenam, tahan gempa. Terakhir, ketujuh, elastisitas pengembangannya melalui sisi horizontal maupun vertikal.