Setiap orang punya pengalaman tersakiti. Dalam kondisi tersebut, kita akan membenci pribadi yang telah menyakiti kita. Penulis pun dulunya sangat membenci orang tua. Karena didikan mereka, terutama ayah sangat keras! Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penulis mencoba untuk memaafkan tindakan dari ayahku. Karena bagaimana pun, ayah adalah sosok yang paling berjasa dalam hidupku.
Penulis dan juga mayoritas etnis Timor Dawan atau yang kita kenal dengan sebutan Atoin Meto, sangat terkenal dengan cara didikannya.
Pendidikan karakter Atoin Meto benar-benar bertolak belakang dengan model pembentukan karakter di abad ke-21 ini.
Di mana, mayoritas pembentukan karakter dari setiap orang tua di NTT, kepada anaknya, khususnya generasi kelahiran 80-90an, sama halnya dengan kerasnya didikan narapida di salah satu penjara tergans dalam setiap film action Hollywood.
Bagaimana tidak, rotan, mistar atau penggaris sebesar telapak tangan orang dewasa, tali hingga benda-benda tajam, kerap kali menjadi santakan keseharian dari generasi Atoni Meto kelahiran 90an.
Zaman itu, orang tua di NTT memiliki filosofi klasik yakni: "Di ujung rotan, ada emasnya."
Tentu saja, filosofi klasik tersebut bagi orangtua zaman 80-90an adalah sesuatu yang biasa-biasa saja dan sudah menjadi patokan atau indikator dalam membentuk karakter anaknya.
Bahkan tenaga pendidik saat itu di NTT, khususnya pulau Timor juga menerapkan hal demikian di berbagai lembaga pendidikan.
Baik orangtua dan juga tenaga pendidik kala itu, entah sadar ataupun tidak, mereka telah meninggalkan ketakutan, trauma dan juga beragam penderitan psikis dalam diri setiap generasi Atoni Meto.
Akibatnya, mental generasi Atoni Meto tahun 80-90an benar-benar cacat, alias takut untuk melakukan sesuatu.
Karena ingatan akan kerasnya pendidikan dari orangtua dan juga tenaga pendidik itu sendiri, terus menghantui mindset generasi muda Atoni Meto, dalam berbagai situasi.
Makanya, tidak salah lagi, bahwasannya dalam berbagai kesempatan, generasi Atoni Meto ketika melakukan sesuatu di ruang publik, dada dan nafasnya terus berpacu ketakutan.
Ketertinggalan mentalitas Atoin Meto terus berdampak hingga saat ini.
Keterbelakangan mental Atoin Meto juga menyebabkan mereka tertinggal dalam banyak aspek kehidupan. Apabila kita mau membandingkan dengan model pembinaan orangtua dari etnis lain di Nusantara.
Dalam kondisi demikian, cobalah kita merefleksikan sekaligus memvisualisasikan pertanyaan sederhana di bawah ini;
Jika Anda berada dalam lingkaran tersebut, berapa ton tetesan air mata dan juga tekanan emosional serta penderitaan lainnya yang dialami oleh generasi Timor?
Entahlah, penulis pun  tidak sanggup untuk memberikan jawaban yang pasti. Demikian pula dengan pembaca Budiman, khususnya mereka yang pernah mengalami situasi tersebut.
Pergeseran Cara Didikan Orang Tua Atoin Meto, Setelah Munculnya HAM
Pasca getolnya kampanye HAM, perlahan tapi pasti orang tua di pulau Timor, ketika mendidik anaknya mulai mengikuti pesan-pesan tersirat di balik HAM itu sendiri.
Munculnya HAM juga merupakan angin segar bagi generasi muda Atoni Meto.
Karena HAM telah memberikan nafas segar bagi mereka untuk sekadar bernafsu lega, setelah sekian purnama, mereka terjebak dengan kerasnya didikan orang tua di pulau Timor NTT.
Forgive But not ForgetÂ
Topik pilihan Kompasiana edisi ini, telah membawa dan juga membuka kembali ingatan penulis dan juga sebagian besar generasi 90-an Atoin Meto (Etnis Dawan).
Karena topik tulisan ini, penulis memaknainya sebagai bahan refleksi untuk diri sendiri.
Artinya di satu pihak, penulis sudah berdamai dengan pengalaman tersakiti di masa lalu, ketika bersama dengan orang tua.
Namun, di lain pihak, penulis harus mengakui bahwasanya, perihal memaafkan situasi yang tersakiti, benar-benar berat!
Senada dengan frase "Forgive But not Forget."
Forgive But not Forget juga merepresentasikan tingkat 'emotional Intelligence' atau kecerdasan emosional dari setiap generasi Atoni Meto, terlebih dalam berdamai dengan situasi -situasi yang paling menyakitkan di masa lalu.
Memang memaafkan tapi sulit melupakannya adalah dua hal yang akan menjadi teman seperjalanan setiap orang.
Karena kehidupan selalu bertalian erat dengan pengalaman-pengalaman yang paling menyenangkan dan juga pengalaman yang tidak menyenangkan.
Itulah cara hidup, terutama pesan dari kecerdasan emosional Atoin Meto sebagai bahan permenungan dan juga referensi bagi para psikolog, psikiater dan juga pemerhati pendidikan dalam mengembangkan bidang 'Geodemografi' atau studi yang menggambarkan sifat-sifat orang yang tinggal atau berasal dari pulau Timor.
Rawa Buaya, 10 Agustus 2024
Frederikus Suni _ Mahasiswa Ilmu Komunikasi - Universitas Siber Asia.
Blog Pribadi: www.tafenpah.com
YouTube: TAFENPAH GROUPÂ
TikTok: Tafenpah.com
Instagram: @suni_fredy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H