Akan tetapi, realita yang kita temui setiap saat, bertentangan dengan etika dan moral di atas.
Merujuk pada Teologi Natal dari perspektif atau point of view perantau, penulis sering menemui hambatan dalam membangun relasi dengan sesama yang berbeda keyakinan.
Tentunya, perihal ini bukanlah semacam legacy dari penulis untuk memandang orang lain dengan cita rasa skeptis.
Namun, berdasarkan pengalaman penulis ada jurang atau range bersama dengan mereka yang berbeda aliran kepercayaan dalam memandang sesuatu.
Ada yang terlalu fanatik sampai-sampai melupakan esensi atau dasar kehidupan bersama sesuai dengan kelima Sila Pancasila dan UUD 1945.
Meskipun begitu, ada yang open minded tentang indahnya perbedaan.
Rangkaian problematika di atas juga secara eksplisit menggambarkan dangkalnya pikiran.
Ini bukan pleoi atau pembelaan dari penulis. Tapi, ini tentang persoalan dalam kehidupan bersama.
Menakar sajian masalah-masalah sosial di atas, sebagai perantau, penulis pun tak berlebihan mengambil hipotesa seperti berikut!
"Orang fanatik itu karena dangkalnya pikiran dan kurangnya asupan nutrisi tentang bagaimana menjalani hidup bersama mereka yang berbeda keyakinan."
Lebih jauhnya, penulis menyakini, bahwasannya untuk menciptakan lingkungan komunitas yang mampu menghargai komunitas, pertama-tama harus dibangun dari lingkungan keluarga.