Sebagai Atoin Meto (Etnis Dawan) saya merasa malu dengan rekan-rekan budaya dari berbagai daerah lainnya. Karena mereka bertindak, bertutur, berelasi, dan memutuskan sesuatu berdasarkan filosofi kebudayaan dari mana mereka dilahirkan. Karena budaya itu melambangkan identitas bangsa, khususnya acara 'HEL KETA.'
Kegelisahan ini saya akan kaji dari ranah Filsafat, khususnya Filsafat Budaya. Bagi Ernst Cassirer pertanyaan yang menunjuk pada proses pengenalan diri itu merupakan tujuan tertinggi dalam pengkajian filosofis. Bahkan Ernst Cassirer menyebutnya sebagai titik Archimedes yaitu pusat yang tetap dan bahkan tak bergeser dari semua pemikiran filsafat.
Artinya Hel Keta itu tidak akan tergantikan dengan ideologi apa pun. Karena suku Timor Dawan (Atoin Meto) lahir, tumbuh, dan besar pun dalam lingkaran kebudayaan tersebut.
Kehadiran Teologi itu hanya sebagai penyeimbang. Artinya adat-istiadat suku Timor (Hel Keta) yang dipolemikan oleh pihak Gereja Katolik Keuskupan Atambua, Belu, NTT dan masyarak Dawan sudah ada jauh sebelum penyebaran agama Katolik dan Kristen oleh bangsa Portugal dan Belanda di tanah Timor.
Baca Juga: Gunung Mutis Surganya Tanah Timor, NTT
Untuk itu, sebaiknya Teologi berjalan sesuai dengan ranahnya, sementara adat-istiada itu pun demikian. Karena bagaimana pun Hel Keta itu adalah kearifan lokal nusantara yang perlu dan wajib dilestarikan untuk generasi bangsa.
Para pendiri bangsa ini pun sangat menghargai kebudayaan nusantara. Karena melalui budaya, kita diakui oleh bangsa-bangsa lain. Negara tanpa budaya akan pincang, karena tidak ada fondasinya. Begitu pun, Gereja tanpa adat-istiadat, bagaikan makan tanpa garam.
Hel Keta Sebagai Simbol Persatuan
Seperti yang kita ketahui bahwa pada zaman dulu, nenek moyang kita saling bermusuhan, entah dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Akibatnya terjadi perang antar suku di pulau Timor. Kala itu, nenek moyang masih belum tahu dampak yang akan ditimbulkan dari peperangan itu bagi anak cucunya.
Lalu, seiring dengan perjalanan waktu, anak cucu antar suku pun mulai menjalin hubungan bahkan hingga sampai pada pernikahan. Sebelum menuju pernikahan, terlebih dahulu tetua adat harus berdamai.
Baca Juga: Yuk, Mengenal Lebih Dekat Ke-eksotikan Pantai Wini, Timor, NTT
Lalu, muncullah Hel Keta sebagai jalan rekonsiliasi. Hel Keta secara etimologi berasal dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Dawan, yakni HEL yang berarti: menarik atau membatasi. Sementara, KETA yang berarti lidi.