Ruang lingkup perempuan dari zaman dulu hingga sekarang identik dengan urusan rumah tangga, mengurusi suami, anak, dan berbagai hal yang tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Karena stigma atau anggapan miring dari masyarakat yang mengatakan perempuan itu lemah. Padahal perempuan itu kuat.
Bayangkan jika perempuan lemah, apa yang akan terjadi dengan kehidupan dunia? Tentu saja, dunia tidak akan ada kehidupan. Karena perempuan juga identik dengan ibu pertiwi yang selalu memberikan kehidupan kepada setiap orang tanpa mengharapkan imbalan apa pun.
Meskipun kerap kali, perempuan berada pada kondisi dan keadaan yang tidak baik-baik saja. Akibat perlakuan dari suami, tekanan dari lingkungan sosial, budaya, politik, ekonomi dan paham apa pun. Namun, perempuan selalu tabah dan terus bangkit, setiap kali gagal dalam membangun rumah tangganya.
Perempuan juga diibaratkan seperti Sang surya (Matahari) yang selalu menyinari siapa pun tanpa pernah memandang latar belakangnya. Karena bagi perempuan, kehidupan jauh lebih penting dari ambisi apa pun.
Menarik pemikiran dari filsuf Perempuan keturunan Jerman dan Amerika, Hannah Arendt terkait gerakan feminis atau upaya perempuan untuk menyetarakan hak dan kewajibannya di dalam ruang publik, yakni " konsep cinta dan kemampuan memaafkan sebagai salah satu etika feminim yang dimiliki perempuan.
Cinta dan Pengampunan
Apa itu cinta? Ini bukan soal berteori, tetapi memang setiap hari kita berbicara tentang cinta. Namun, terkadang kita lupa akan arti cinta itu sendiri. Apalagi soal pengampunan.
Cinta dan pengampuan selalu berada pada satu jalur. Untuk belajar cinta dan pengampunan, kita melihat kembali pengorbanan ibu kita sendiri. Entah yang sekarang masih hidup atau pun yang sudah pergi meninggalkan kita di dunia ini.
Bagi mereka yang sudah kehilangan ibunda tercinta, coba bayangkan kesalahan-kesalahan apa saya yang pernah kita lakukan kepada mereka. Apakah kita pernah menolak mereka saat bertemu dengan rekan-rekan kita di usia muda? Ataukah kita menerima mereka dengan segala keterbatasan mereka.
Sementara bagi mereka yang masih bersama ibunda tercinta, apa yang sudah kita lakukan untuk mereka. Apakah kita juga merasa malu untuk mengakui mereka, ketika bertemu kolega kita?
Jika, kita pernah berada pada posisi tersebut, berarti kita belum tahu arti cinta itu sendiri. Karena cinta itu adalah menerima yang lemah dan mengakui diri sendiri dengan segala keterbatasan, termasuk menerima kekurangan pasangan, mertua, keluarga besarnya, dll.