Kesuksesan setiap orang itu berbeda. Ada yang sukses melepas masa lajangnya. Ada yang sukses menyelesaikan pendidikan diplomanya. Ada yang sukses bekerja di salah satu perusahaan bergengsi. Dan ada juga yang sukses dalam karirnya.
Saya berhasil merilis 2 buah karya novel saat usia 25 tahun. Akan tetapi, di balik kesuksesan saya, ada pengorbanan yang lebih besar yakni resign dari Kampus, meninggalkan kemapanan dan memilih jalur mainstream.
Saya sadar bahwasan untuk meraih sesuatu, saya pun harus mengorbankan masa depan saya di bidang akademik. Seiring dengan mesin kordoba waktu, saya dihantam oleh rasa kecemasan, pikiran berlebihan dan menghakimi diri sendiri.
Kecemasan
Ketika saya merilis 2 karya novel saat usia 25 tahun, saya merasa bangga. Rasa bangga saya bercampur aduk dengan rasa kecemasan. Tersebab saya khawatir akan masa depan saya. Bila saya totalitas dalam menekuni dunia kepenulisan, tentu saya harus berhadapan dengan penghasilan yang kembang -- kempis, seirama dengan ungkapan Daeng Khrisna Pabichara bahwa jangan jadikan profesi penulis sebagai pekerjaan utama.
Saya hidup dalam kungkungan budaya kecemasan akan banyak hal. Usia 25 tahun banyak orang beranggapan bahwa itu pertambahan usia. Bagi saya memasuki usia 25 tahun adalah usia saya semakin berkurang. Karena batas usia kita hingga 80-90 tahun sesuai dengan ajaran kepercayaan saya.
Penghitungan mundur usia inilah yang menjadi kecemasan saya. Selain itu, saya cemas akan masa depan orangtua saya yang sudah memasuki usia renta. Sebagai anak sulung, tanggung jawab sudah disematkan di atas pundakku. Terutama pendidikan adik-adikku.
Sebagai orang Timor, anak sulung bertanggung jawab untuk pendidikan adik-adiknya. Dalam kondisi apapun, seorang anak sulung harus memperjuangkan pendidikan adik-adiknya.
Pikiran Berlebihan (Overthinking)
Sebagai jiwa muda pikiran optimis akan masa depan selalu melekat dalam diriku. Pikiran optimis bila tak diimbangi dengan aksi nyata, bagaikan keping-kepingan rencana yang mengalir dari masa lalu kita.