Dikala aku membaca topik Samber THR Kompasiana hari ini tentang "Surat Untuk Sanak Saudara di Kampung Halaman," ada serpihan rasa yang berlarian, melintasi ubun-ubun kepalaku dan mencungkil hati.
Rasanya kuingin kembali merajut rindu bersama orangtua dan sanak saudara yang berada di kampung Haumeni. Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Rindu adalah kata sifat yang selalu memenjarakan anganku. Serpihan rasa rindu yang sudah bersesakan di setiap sudut rak lemari pakaianku. Aku ingin membungkus serpihan rasa rindu dalam dekapan orangtua.
Tujuh tahun yang lalu, tatkala aku masih berada di kampung halaman, setiap menemui persoalan dan kegundahan hati, orangtua selalu membelai-belain rambutku, sembari memberikan ceramah yang terkadang tak kuhiraukan. Namun, seiring dengan waktu, aku semakin sadar bahwasannya petuah-petuah yang disampaikan oleh orangtua kepadaku adalah jalan menuju masa depan dalam berelasi.
Andaikan aku bisa mengulangi serpihan rasa dalam dekapan orangtua, aku akan menjadi orang yang sangat beruntung di dunia ini. Akan tetapi, kini aku merasa seolah-olah dipermainkan oleh waktu.
Sejenak aku berdiam diri dan pikiranku berselancar dengan ajaran dari para filsuf tentang arti sebuah waktu. Dan aku pun bersetubuh dengan ajaran dari filsuf kontroversial asal Jerman yang dikaitkan dengan Nazi yakni, martin Heidegger tentang waktu.
Martin Heidegger selalu gelisah tentang waktu. Ia selalu mempertanyakan waktu. Apa itu waktu? Bagi Martin Heiddegger, waktu adalah antara ada dan tiada. Bila waktu menghadirkan rindu dan manusia di bumi ini, mengapa juga waktu yang membatasinya? Ah, daripada aku dan diriku yang lain (Liyan). Liyan adalah salah satu ilmu filsafat yang mengajarkan tentang arti diriku juga ada di dalam diri orang lain.
Pikiranku pun diarahkan kembali kepada busur waktu ajaran Martin Heidegger. Dari titik ajaran Martin Heidegger, aku menarik kesimpulan (hipotesa) sementara tentang waktu.
Bagiku sekarang adalah momentum yang tepat untuk aku bernostalgia. Puing-puing kerinduan dan kemesraan bersama dengan orangtua dan sanak saudara tercinta di kampung Haumeni, kini menyisahkan deburan rindu.
Aku ingin membekukan deburan rindu di siang bolong ini. Namun, cuaca di sekitarku tak bersahabat. Aku memilih untuk terus mengunyah sisa-sisa rindu bersama orangtua dalam balutan untain diksi-diksi kerinduan ini.