Nak, perjalanan satu bangsa tak terlepas dari namanya politik! Bila tak ada politik, Ir. Soekarno tak perlu capai-capai mengkampanyekan hubungan diplomasi dengan semua bangsa, hanya untuk meraih dukungan internasional untuk mengakui kedaulatan NKRI.
Kamu tak salah kok untuk menulis politik. Salah bila ada orang yang berusaha untuk membunuh kreativitasmu! Bukankah zaman demokrasi segala sesuatu itu bebas diulas? Asalkan bertanggung jawab.
Setiap orang berhak tahu kondisi terkini seputar dunia politik. Entah politik yang sedang hangat dibicarakan di tanah air maupun mancanegara.
Politik itu berkaitan dengan negosiasi antar bangsa. Jalinan negosiasi ibarat seorang sales yang piawi dalam menawarkan jasanya kepada konsumen. Kerjasama antara seorang sales dan konsumen menghasilkan kesepakatan, yakni kedua pihak sama-sama menguntungkan dari segi apapun.
Bukankah setiap aspek kehidupan itu selalu bersentuhan dengan politik? Citra politik akan menjadi negatif, bila adanya pemikiran satiris dari segelintir orang. Apakah menulis politik mengurangi esensi dari media arus utama?
Saya rasa tidak! Karena politik itu berawal dari kehidupan nyata keseharain kita. Seirama filsafat berangkat dari masalah remeh -- temeh seputar kehidupan manusia yang penasaran akan kehidupan ini.
Saya melihat dan merasakan mereka yang aktif menulis politik adalah insan-insan yang mumpuni dalam bidangnya. Tujuan mereka menulis politik adalah berbagi pengetahuan. Bukan mencari musuh.
Selama saya berada di rumah Kompasiana, saya banyak belajar ilmu politik pragtis dari rekan-rekan Kompasianer. Ketajaman nalar mereka mampu membangkitkan rasa penasaran dalam diri saya untuk ikut nyemplung di dalamnya.
Mereka selalu resah, tatkala melihat bangsa dan negara semakin kacau. Keresahan mereka dituangkan dalam setiap artikel. Pemikiran mereka selalu berlandaskan pada human interest atau nilai-nilai kemanusiaan.
Filsuf  Plato pernah mengatakan bahwa setiap warga negara berhak tahu politik. Karena dari politik, kita berperan sebagai pengganggu sekaligus sebagai pengingat bagi setiap pemimpin.
Kita menulis politik bukan untuk saling menyudutkan antar satu dan lainnya. Namun sebagai alarm untuk selalu mawas diri dalam menunaikan visi dan misi yang dijanjikan oleh penguasa kepada rakyat.
Saya pribadi sih oke-oke saja bila ada yang menulis politik. Karena kekuasaan tertinggi satu bangsa berada di tangan rakyat. Dari rakyak dan kembali kepada rakyat. Berbicara saja tak akan didengar oleh pemimpin dan dianggap sebagai angin lewat. Akan tetapi, melalui tulisan pesan kita akan didengar oleh seorang pemimpin untuk selalu mengontrol dirinya.
Dudung Pangdam Jaya mengatakan," untuk mengetahui keaslian orang, beri dia jabatan. Di situlah keasliannya akan muncul." Maka, politik yang merupakan turunan dari ilmu filsafat hadir sebagai jalan pengingat bagi setiap pemimpin.
Terakhir, ayahku berpesan bahwasannya teruslah menulis apapun. Yang terpenting berlandaskan pada kemanusiaan. Hipotesanya berarti saya dan siapapun tak salah untuk menulis politik. Â Karena politik adalah bagian dari medium diplomasi dan negosiasi dalam satu bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H