Parno menyesali kisah perselingkuhannya di depan makam istri tercinta. Parno menangis histeris, ia mengutuki diri atas perbuatannya sejak dua tahun lalu.
"Diam kau penghianat! Teriak anak perempuannya.
"Parno terkejut, karena anak perempuannya, kini berubah dan tak mengakuinya sebagai orangtuanya."
"Dengan intonasi suara yang pelan, Parno menghampiri anak perempuan satu-satunya, Nak, kenapa kamu bicara seperti itu pada ayah?"
"Aku tak sudi punya ayah seperti kamu! Pergiiiiiiiii...............Pergiiiiiiiii............. Dari sini! Bentak Fina kepada ayahnya.
Parno terdiam sesaat, lalu ia menghapus air mata penyesalannya di depan makam istrinya.
"Nak Fina, bila kamu tak mengakui ayah sebagai orangtuamu, tak apa-apa. Tapi, ayah sangat mencintai kamu dan ibu."
"Makan itu cinta. Mubazir. Lalu, kenapa ayah menyelingkuhi ibu dan meninggalkan kami?
"Ayah khilaf waktu itu. Ayah menyesal, karena telah meninggalkan kalian, tatkala ibumu sedang sakit."
Fina terus menangis di depan makam ibunya. Sementara Parno berusaha untuk membujuk Fina untuk menerima dirinya sebagai ayah kandungnya. Tapi, Fina tak peduli. Karena ia masih sakit hati dengan ayahnya.
Pertemuan itu sekaligus sebagai perpisahan antara Fina dan ayahnya. Fina memutuskan untuk pergi menjauh dari kampung halamannya. Karena rasa sakit hatinya yang masih membara di dalam dirinya. Ia tak mau, masa depannya ikut hancur yang kedua kali.
Malam kembali menutupi Cakrawala, Bintang-bintang mulai menyinari angkasa, sementara Parno masih setia menunggu di depan makan istri tercinta. Parno tak peduli, bila tempat pemakaman itu terkenal sangat angker dan menakutkan di tengah malam.
Esok harinya, tatkala orang-orang sekampung melewati makam itu, tanpa sengaja, Parno mendengar pembicaraan yang mengarah pada peristiwa kecelakaan yang di alami oleh Fina. Parno berusaha untuk memastikan bahwa berita itu benar. Lalu, ia bertanya ke salah seorang di antara mereka.
"Maaf mas, apakah tadi anda sekalian membicarakan peristiwa kecelakaan yang menimpa Fina, anak saya?"
"Betul Pak Parno." Jawab salah seorang dari antara mereka.
"Kira-kira kecelakaan apa?"
"Begini Pak Parno, tadi pagi saat warga sekitar mulai beraktivitas, mereka menemukan salah seorang perempuan yang bunuh diri dengan cara gantung diri di depan kantor desa. Dan, setelah menurunkan mayat itu, ternyata itu adalah Fina."
Parno langsung jatuh terkulai di depan makam istrinya. Ia memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan. Lalu, salah seorang di antara mereka memberikan surat. Dan ternyata surat itu dari Fina, sebelum bunuh diri, yang dipajang di depan salah satu jendela kantor desa.
Parno segera membaca surat itu.
"Sampai langit terbelah menjadi dua pun dan sampai ajal menjemput Fina, ayah adalah orang jahat yang telah menghancurkan masa depan Fina. Dan jangan pernah menginjakkan kaki di depan mayat Fina. Fina sayang saya bapak, tapi, bapak sendiri yang menciptakan jurang pemisah antara kita. Tatkala ayah membaca surat ini, mungkin Fina sudah tidak ada lagi di dunia ini. Selamat tinggal ayah." Demikian isi suart itu.
Disposisi atau keadaan batin Parno benar-benar berada di titik terendah kehidupan. Rasa penyesalannya tak seberapa dengan kondisi kejiwaan yang ia alami saat itu.
Esok harinya, jenazah Fina dimakamkan di samping ibunya. Kini, Parno tinggal seorang diri. Dan ia terus menunggu hingga ajal menjemputnya.
Parno menghabiskan sisa usianya untuk meratapi penyesalannya kepada anak dan istri tercinta. 5 hari kemudian, Parno menghembuskan nafas terakhirnya di depan makam anak dan istri tercinta. Akibat ia kelaparan.
Penulis pun terbangun dari bayangan imajinasi yang terkesan mistis, akibat perut mulai keroncongan. Dan penulis pun mulai melahap habis makanan yang tersedia di atas meja. Akibatnya, penulis diusir dan dikejar oleh abang yang tak kebagian makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H