Bising kendaraan dan debu beterbangan di setiap sudut kota Metropolitan, lelaki paruh baya itu masih memungut sampah untuk menyambung hidupnya di kota Metropolitan
Profesi lelaki itu adalah seorang pemulung. Nasib tragis menimpa keluarganya sejak enam tahun lalu. Di mana istri dan anaknya meninggalkannya, sementara ia sakit dan tidak bisa menafkahi mereka.
Aku menghampiri lelaki itu untuk memberikan sedikit rezeki dari kekuranganku.
"Selamat siang Pak." Sapaku untuk mengawali pembicaraan.
"Selama siang juga nak." Balasnya.
"Kira-kira bapak ada waktu untuk bisa ngobral sama aku?"
"Syukurlah, aku selalu ada waktu untuk meladeni setiap orang yang ingin berbagi cerita denganku."
"Puji Tuhan, aku merasa lega. Karena kehadiran aku diterima dengan baik."
"Memangnya keluarga bapak tinggal di mana?"
Goresan keriput tulang pipinya memancarkan aura kesedihan yang amat mendalam, sembari ia menatap tajam aku.
"Keluarga bapak sudah sudah lama pergi tak tahu rimbanya. Mereka meninggalkan bapak sejak enam tahun lalu."
"Hatiku terasa teriris-iris, tatkala mendengarkan ungkapan isi hati dari seorang lelaki paruh baya yang berjuang untuk menyambung hidupnya di kota Metropolitan."
"Kalau boleh tahu, kira-kira ada masalah apa sehingga mereka meninggalkan bapak sendirian?"
"Saat itu, bapak jatuh sakit. Selama hampir lima bulan, bapak tidak bisa berbuat apa-apa, selain terbaring lemas di tempat tidur. Mau berobat juga tabungan tidak ada. Terpaksa bapak memutuskan untuk tidak berobat ke rumah sakit."
"Memangnya sanak keluarga bapak tidak ada yang tinggal di sini?"
"Bapak ini seorang perantau. Bapak merantau sejak tahun 1990 dari kampung halaman bapak. Jadi sanak keluarga tinggal di kampung."
Aku pun memilih untuk diam. Karena aku tak tega, bila mengorek kelurga lelaki paruh baya itu lagi. Siang itu, udara terasa panas. Aku mendengarkan keluh kesah lelaki paruh baya itu. Lelaki paruh baya itu pun melanjutkan kisah tragis perpisahan dengan keluarganya.
"Nak, sejak berpisah dengan kelurga bapak, hingga detik ini, bapak belum menemukan keberadaan mereka! Semoga waktu bisa mempertemukan kami.
Dalam hati, aku juga ingin berontak, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa, tatkala berada di posisi demikian. Segala sesuatu itu terletak pada waktu. Tapi, apa itu waktu? Bila aku meneropong dari pandangan filsuf Martin Heidegger.
Bagi Martin Heidegger waktu adalah ada dan tiada. Lalu apa korelasinya dengan kisah lelaki paruh baya di atas? Tentunya, korelasi kisah lelaki paruh baya atau pemulung itu adalah waktu perpisahan dan waktu pencarian.