Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Transformasi Gembala Sapi Menjadi Kuli Tinta

15 Februari 2021   10:04 Diperbarui: 19 Februari 2021   22:56 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenikmatin dibalik seorang gembala sapi. Foto dari Pixabay

Apa yang kita tidak sukai, itulah jalan hidup kita. Selaras ajaran Filsuf Alan Watts tentang hukum kebalikan.

Menulis adalah sesuatu yang tidak pernah terbayangkan dalam hidupku. Sebagai generasi perbatasan, tentunya keseharian saya hanya berputar di padang sabana, perbukitan, pegunungan untuk menggembalakan hewan peliharaan orangtua, seperti; sapi dan kambing.

Semenjak kecil saya sudah didoktrin oleh orangtua untuk meneruskan profesi sebagai tukang gembala. Menggembalakan sapi dan kambing tentunya ada euforia tersendiri bagi saya. Karena saya bebas berakselerasi dengan keindahan alam sabana, perbukitan, pegunungan dan pantai sejauh mata memandang.

Hamparan sabana menjadi rumah inspirasi bagi saya. Karena dari titik itulah, saya mulai berontak untuk mendapatkan perlakuan yang sama seperti anak-anak seusia saya pada umumnya. Di mana mereka bebas untuk mengakses pendidikan. Terutama bahan bacaan  apa saja di lingkungan sekolah.

"Aku memberontak, karena aku ada" (Filsuf Albert Camus). Saya memberontak dengan mager (malas gerak), tatkala disuruh orangtua untuk menekuni profesi tukang gembala di padang sabana.

Kondisi ini menyebabkan kemarahan yang amat besar dari orangtua. Akibatnya, saya dihukum. Hukuman yang saya terima adalah melahap bacaan yang diberikan oleh orangtua. Entah orangtua mendapatkan buku dari mana, intinya ada beberapa buku yang ada di rumah.

Hemat saya, orangtua terus mendorong saya untuk membaca. Selain membaca, saya didorong untuk menulis. Menulis pada konteks itu memang berat. Seberat penyakit psikologis manusia era 21.

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang sangat menyiksa saya. Karena saya merasa tak ada manfaat, bila saya melatih untuk menulis. Mendingan saya memilih untuk berwisata alam di kampung halamanku. Daripada menghabiskan waktu untuk mengulik diksi-diksi kerinduan di kampung pedalaman.

Seiring dengan mesin cordoba waktu, saya jatuh cinta dengan kegiatan membaca dan menulis. Ya, kembali lagi dengan pernyataan saya di awal tentang hukum kebalikan. Di mana, kegiatan menulis sangat membosankan bagi saya dikala itu. Tapi, sekarang menulis dan membaca adalah sesuatu yang tidak dipisahkan dari keseharianku.

Saya terlanjur jatuh cinta dengan irama aksara. Apakah ini yang dinamakan dengan sweet karma? Entahlah! Karena saya juga baru tahu istilah sweet karma, terutama di topik pilihan Kompasiana beberapa hari yang lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun