Berulang kali penulis harus berhadapan dengan pertanyaan klasik seputar dunia Seminari. Salah satu pertanyaan yang paling menohok dan menukik adalah "Apakah seorang Frater (Seminaris) bisa jatuh cinta? Pertanyaan ini biasanya datang dari teman-teman kaum Hawa. Maklum, ketampanan seorang Frater ketika memakai jubah putih bisa mengalahkan benteng pertahanan kaum hawa.
Seorang Frater adalah manusia biasa yang memiliki batas-batas terlemahnya. Â Ia jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Toh, ia adalah pribadi yang utuh secara seks dan seksual. Tapi, cinta seorang Frater itu universal, tak seperti teman-teman sebayanya yang memilih jalan panggilan di luar tembok biara.
Cinta adalah obat terlaris manusia. Manusia hidup dari cinta dan akan kembali kepada cinta. Nah, penulis akan menceritakan kisahnya ketika jatuh cinta sewaktu masih menjadi seorang Frater.
Penulis mengawali masa Postulat (dasar) pembinaan sebagai seorang Frater di Postulat Stella Maris Malang pada tahun 2014 silam. Penulis jatuh cinta dengan seorang gadis yang berasal dari kota kelahiran penulis. Â Parasnya yang hitam manis, berlesung pipi menambah gejolak bara asmara penulis. Saking kangen-kangenan melalui media sosial, penulis memanjat pagar Biara hanya untuk bertemu dengan tambatan hatinya, yang waktu itu berstatus sebagai Mahasiswi di Universitas Brawijaya Malang.
Hemat penulis, kisah pertemuan itu membawa masalah bagi penulis sendiri. Di mana panggilan untuk menjadi seorang Frater (calon Imam Katolik) semakin terganggu dengan hadirnya sang pujaan di setiap tidur malam penulis. Ya, bunga tidur lah.
Waktu berlalu dengan begitu cepat, kisah percintaan penulis dan pujaann hati kandas di tengah jalan. Sedih, kecewa dan tak terima dengan keputusan sang pujaan hati. Tapi, alasan sang pujaan hati benar adanya. Karena ia tak mau panggilan penulis menjadi seorang Frater terganggu.Â
Singkat cerita, kepergiaan sang pujaan hati membawa tsunami bagi penulis. Hari-hari penulis jalani tak bergairah akan kehidupan. Memang perpisahan itu datannya tak terduga dan sangat menyakitkan.
Belakangan penulis menyadari akan keputusan sang pujaan hati yang telah meninggalkan goresan luka di lubuk hati yang terdalam. Maklum ia adalah cinta pertama penulis. Penulis hanya terpana lunglai di bawah rembulan malam selama menjalani masa pembinaan awal di Seminari.
Nah, kisah nyata penulis membuktikan bahwa seoran Frater bisa menjalani hubungan percintaan dengan lawan jenisnya. Asalkan cinta yang berlandaskan pada perkembangan afeksi di tengah pelayanan umat yang beragam. Jadi, seorang Frater bisa diperbolehkan untuk mengenal lawan jenisnya. Hal demikian untuk melatih aspek afeksi.
Semoga tulisan sederhana ini semakin memperkaya pengetahuan kita tentang perkembangan afeksi seoran Frater dalam menjalani masa pembinaannya di Seminari.