Wacana publik semakin meraja lelah di negeri Indonesia. Banjir informasi mengalir sangat deras dan terus menelanjangi otak manusia. Apa lagi berita-berita yang semakin mudah diakses melalui media digital. Dunia digital telah menjadikan setiap orang menjadi wartawan. Akibatnya, kita menerima berita secara mutlak tanpa memilah dan menguji kebenarannya.
Ada baiknya kita melihat epistemologi dari Immanuel Kant yang membagi pengetahuan ke dalam tiga bagian yakni, Pengetahuan Indrawi, Pengetahuan Akal Budi dan Pengetahuan Intelek.
Pengetahuan indrawi adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hal yang nampak. Pengetahuan akal budi muncul secara spontan dari manusia. Pengetahuan intelektual adalah pengetahuan yang tertinggi.
Sebagai contoh adalah seorang pejabat daerah melihat adanya penyakit sampar yang menyebar di daerah pemerintahannya. Secara spontan ia mengeluarkan segala peraturan yang meresahkan masyarakat.Â
Tujuannya memang baik adanyanya, tapi keputusan yang ia ambil berseberangan dengan realita di lapangan. Dari keresahan ini muncullah opini publik. Opini yang berpotensi menciptakan kekacauan antar masyarakat.
Sebagai penegah dari dua pengetahuan ini, maka hadirlah pengetahuan intelek. Karena pengetahuan ini merangkum pengetahuan-pengetahuan di lapangan. Bagi Kant, pengetahuan intelek adalah pengetahuan tertinggi.
Kita sebagai rakyat Indonesia selalu suka sesuatu yang heboh, bombastis di ruang publik. Karena kita adalah manusia-manusia yang haus akan kekuasaan, kenikmatan dan segala hal yang sangat menyenangkan.Â
Terkadang kita tak mengecek berita-berita yang terhangat di ruang publik. Apakah berita-berita itu sudah tervalidasi ataukah belum?Â
Akibatnya, kita menggunakan pengetahuan indrawi untuk berspekulasi/menafsir sebuah peristiwa dari sudut kepribadian kita. Metode spekulasi secara pribadi melahirkan beragam opini dan wacana publik. Akibatnya, kita termakan oleh opini dan wacana kita sendiri.
Opini publik melahirkan pengetahuan akal budi secara spontan untuk menilai dan menghukum para pemimpin dengan tuduhan-tuduhan palsu. Akibatnya, masalah kita semakin menumpuk.Â
Perpecahan tak dielakkan lagi. Sampai di sini, kita telah ditipu oleh pengetahuan indrawi dan akal budi. Maka, kita butuh pengetahuan intelek.