Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Transparansi Kehidupan

13 Oktober 2020   22:59 Diperbarui: 13 Oktober 2020   23:20 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup adalah pilihan. Setiap pilihan ada konsekuensinya. Dewasa ini banyak orang kehilangan kompas hidupnya. Hal demikian disebabkan oleh kesibukkan. Ada yang sibuk dengan bisnis, pekerjaan, keluarga dan segala urusan yang menguras emosi, tenaga dan pikiran. Dari sekian banyak pilihan itu, ada satu ruang yang hampir tak dijamah oleh manusia yakni "kesendirian."

Sendiri berarti berani membangun komunikasi dengan diri sendiri. Dialog dengan diri sendiri jauh lebih nyaman. Karena kita tahu di mana letak kelebihan dan kekurangan kita. Kita tak bisa menisbakan realita kehidupan sosial. Tapi, kita juga perlu menyendiri untuk merefleksikan diri.

Refleksi berarti melihat segala dinamika hidup dari sudut pandang ontologis/metafisika. Metafisika adalah sesuatu yang melampaui batas logika manusia. Di dunia ini hanya segelintir orang yang bisa membangun dialog dengan dirinya. 

Karena sebagian besar orang hanya berpusat pada banalitas keseharian yang semrawut. Kesibukan manusia yang kerap menguras emosi dan tenaga adalah saling membungkus kata-kata pedas melalui jaringan nirkabel dasar laut.

Transparansi kehidupan adalah sarana/medium bagi setiap orang untuk memaknai apa itu kehidupan? Apa itu empati? Apa itu waktu? Apa itu perbedaan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah postulat/dasar dari kehidupan. 

Dikatakan hidup itu bermakna, bila kita saling berbagi. Model berbagi yang seperti apa? Berbagi itu tak melulu soal materi. Tapi, kita berbagi waktu untuk saling mendengarkan. Kita mendengar perasaan sesama. Dari situ kita berempati. Dalam empati kita tahu apa arti kehilangan, penderitaan dalam menyibak labirin semesta yang semakin sempit oleh banyaknya retorika tak karuan di ruang publik.

Pixabay;
Pixabay;

Ruang publik adalah panggung pertempuran antara empati dan antipati. Akibatnya, manusia terdampar oleh arus kebisingan. Manusia semakin terlempar dari eksistensinya sebagai makhluk berempati.

Akhirnya, mari kita luangkan waktu untuk merefleksikan segala peristiwa yang telah kita lalui. Barang kali ada pengalaman yang mengesankan, boleh dibagikan di kolom komentar. Agar kita saling memperkaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun