Padahal, sejatinya "petir/dewa" hanyalah ilusi masyarakat. Atau lebih tepatnya, Albert Camus akan menamai pemahaman serupa "bunuh diri filosofikal." Karena petir hanya aliran listrik.Â
Bukti empirik menunjukkan bahwa, Benyamin Franklin melakukan eksperimen menerbangkan layang -- layang sewaktu badai petir musim hujan dan berhasil mematahkan mitos masyarakat.Â
Setiap ada hujan petir yang menghantam pesisir pantai Wini, Sintia selalu mengingat jasa Benyamin Fraklin. Karena ada penangkal listrik yang menyejarah bersama permukiman warga.
Konspirasi aroma kopi dan asmara melebur menjadi satu entitas yang terjebak di dasar samudera "warkop" milik pamannya. Secangkir kopi hitam telah menghangatkan badannya. Sembari ia "ngopi yang berarti ngobrol perkara impian" bersama pamannya.
"Man adalah sebutan sintia untuk pamannya, bukan man yang berarti laki -- laki."
"Man, cita -- citaku adalah mau jadi jurnalis. Bisa masuk TV, liput berita, bertemu banyak orang, punya banyak kenalan dari berbagai latar belakang Pendidikan, budaya, bahasa dan ras."
"Sintia, man setuju kau punya impian jadi wartawan. Tapi, apa kau sudah bicarakan dengan orangtuamu?"
"Belum, man!
"Lah, gimana sih, Sintia?" Ayo, sono bicarakan sama orangtuamu.
"Tapi, aku takut, man"
"Ngapain kau takut sama orangtuamu?"