Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ngopi (Ngobrol Perkara Impian)

2 September 2020   00:14 Diperbarui: 2 September 2020   00:09 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, sejatinya "petir/dewa" hanyalah ilusi masyarakat. Atau lebih tepatnya, Albert Camus akan menamai pemahaman serupa "bunuh diri filosofikal." Karena petir hanya aliran listrik. 

Bukti empirik menunjukkan bahwa, Benyamin Franklin melakukan eksperimen menerbangkan layang -- layang sewaktu badai petir musim hujan dan berhasil mematahkan mitos masyarakat. 

Setiap ada hujan petir yang menghantam pesisir pantai Wini, Sintia selalu mengingat jasa Benyamin Fraklin. Karena ada penangkal listrik yang menyejarah bersama permukiman warga.

Konspirasi aroma kopi dan asmara melebur menjadi satu entitas yang terjebak di dasar samudera "warkop" milik pamannya. Secangkir kopi hitam telah menghangatkan badannya. Sembari ia "ngopi yang berarti ngobrol perkara impian" bersama pamannya.

"Man adalah sebutan sintia untuk pamannya, bukan man yang berarti laki -- laki."

"Man, cita -- citaku adalah mau jadi jurnalis. Bisa masuk TV, liput berita, bertemu banyak orang, punya banyak kenalan dari berbagai latar belakang Pendidikan, budaya, bahasa dan ras."

"Sintia, man setuju kau punya impian jadi wartawan. Tapi, apa kau sudah bicarakan dengan orangtuamu?"

"Belum, man!

"Lah, gimana sih, Sintia?" Ayo, sono bicarakan sama orangtuamu.

"Tapi, aku takut, man"

"Ngapain kau takut sama orangtuamu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun