[caption id="attachment_101945" align="alignleft" width="150" caption="seorang anak di perayaan hari anti korupsi 2007 di bundaran HI"][/caption] Sesungguhnya tulisan ini sudah lama saya dapat. Kira-kira 4 tahun yang lalu termuat di detikportal.com. Yang menulis adalahJamil Azzaini sang penulis KUBIK LEADERSHIP. Yeah mirip-mirip Mario Teguh lah pekerjaannya. Heheheh.. Namun gegernya kasus Gayus Tambunan seorang PNS golongan III di Ditjen Pajak yang tersinyalir sampai punya rumah seharga Rp 4 M di Kelapa Gading, ada Rp 25 M di rekeningnya, disinyalir punya apartemen mewah di Cempaka Mas. Adalah tidak masalah mungkin kalau ia berasal dari golongan berada atau punya orang tua yang bisa memberi hibah senilai milyaran seperti yang diakui Hadi Purnomo Ketua BPK sekarang (eits.. dia dulu Dirjen Pajak lho..) Dia sendiri berasal dari keluarga seadanya di wilayah Warakas Jakarta Utara. Penelusuran wartawan atas aset-asetnya, menemukan rumah orang tuanya di sana tak lebih besar dari lapangan bulutangkis, berdinding tripleks dan berada di gang sempit. (sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/03/25/091121/1324923/10/rumah-gayus-dulu-dan-kini?991102605) Kebetulan saya memiliki teman yang merupakan kakak kelas yang bersangkutan di salah satu SMA favorit di Jakarta Utara. Ia mengatakan bahwa yang bersangkutan royal terhadap keluarganya. Beberapa tahun lalu ia dikabarkan membiayai sekeluarganya naik haji. Logika umumnya, dengan gaji pokok tidak sampai Rp 2 juta (total take home pay beserta tunjangan-tunjangannya bisa mencapai Rp 9-11 juta), dari mana ia mampu membiayai sekeluarganya naik haji? Dari mana pula ia mampu memiliki harta yang tergolong mewah luar binasa untuk golongan seperti dia? Ironi sesungguhnya. Orang akan bilang "Ah.. itu kan yang baru ketahuan.. Itu baru kelasnya kroco.. Paling-paling sama atasannya (Menkeu?) akan dianggap sekedar OKNUM" Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh penggerebekan Bea Cukai di Tanjung Priok dan menemukan transaksi ilegal antara pegawai Bea Cukai dengan para penyuapnya yang bisa mencapai ratusan juta rupiah nilainya per hari. Bahkan uang transaksinya dititipkan kepada Office Boy sebagai media antara transaksi. Kini borok itu terbongkar lagi. SMI pasti pusing tujuh keliling. Renumerasi yang jauh lebih baik tak juga mampu membenahi mental para jajarannya. Saya kemudian iseng mencari account facebook yang bersangkutan dari friendlist teman saya ini. Voila, ia sudah berkeluarga dengan satu istri & tiga orang anak. Saya berpikir keras. Rejekinya selama ini pastinya untuk anak-anaknya juga. Lalu apa yang ia jawab apabila anaknya bertanya dari mana ia mendapat rejeki semewah itu. Lalu saya teringat akan satu artikel dari detikportal.com yang pernah dikirimkan ke saya via email. Ah... Baiknya baca dulu, gan : ____________________________________________
"Uang Korupsi itu Merusak Anak Saya" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah terlalu besar dan di luar kontrol. Korupsi sudah merasuki semua sendi kehidupan dan telah terjadi baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pernyataan Presiden yang disampaikan pada acara Presidential Lecture di Istana Negara pada Rabu, 2 Agustus 2006, itu mengisyaratkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan. Kendati pelaku korupsi tampak tak terjamah, tapi yakinkah kita bahwa mereka benar-benar lolos dari jerat hukum? Ngomong-ngomong soal korupsi saya ingin berbagi cerita. Saya pernah diundang oleh perusahaan ternama untuk memberikan "pencerahan." Dalam kesempatan itu saya menyampaikan materi yang intinya menjelaskan bahwa hukum kekekalan energi dan semua agama menyatakan bahwa apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita di dunia. Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula ketika di dunia. "Korupsi adalah perbuatan negatif, maka di dunia para pelakunya pasti akan mendapat balasan berupa keburukan pula. Keburukan dapat berupa musibah, penyakit, kehilangan harta benda, ketidakharmonisan rumah tangga, mendekam di penjara, tercoreng nama baiknya, kegelisahan dan hal-hal negatif lainnya," jelas saya. Ketika sesi tanya jawab, salah seorang pimpinan di perusahaan itu mengkritik pedas pernyataan saya itu. Walau saya sudah menjelaskan dengan argumen-argumen ilmiah dan contoh-contoh dalam kehidupan, dia tetap tidak yakin. Sampai kami berpisah, kami masih pada pendapat masing-masing. Tujuh bulan berlalu, pimpinan itu tiba-tiba menelpon saya. "Pak Jamil, saya ingin bertemu anda," ujarnya singkat. Karena penasaran, undangan dari beliau saya prioritaskan. Singkat kata, pada waktu dan tempat yang telah disepakati kami bertemu. Rupanya beliau tiba lebih dulu di tempat kami janjian. Begitu saya datang, beliau segera menyambut dengan sebuah pelukan erat. Cukup lama beliau memeluk saya. "Maafkan saya pak Jamil. Maafkan saya," ucapnya, sambil terisak dan terus memeluk saya. Karena masih bingung dengan kejadian ini saya diam saja. Setelah kami duduk, beliau membuka percakapan. "Saya sekarang yakin dengan apa yang pak Jamil dulu katakan. Kalau kita berbuat energi positif maka kita akan mendapat kebaikan dan bila kita berbuat energi negatif maka pasti kita akan mendapat keburukan," ujarnya. "Bagaimana ceritanya sekarang kok bapak jadi yakin?" tanya saya. "Selama saya menjabat pimpinan di perusahaan itu, saya menerima uang yang bukan menjadi hak saya. Semuanya saya catat. Jumlahnya lima ratus dua puluh enam juta rupiah," katanya. Sembari menarik napas panjang beliau melanjutkan bercerita. Kali ini tentang anaknya. "Anak saya sekolah di Australia. Karena pengaruh pergaulan, dia terkena narkoba. Sudah saya obati dan sembuh. Ketika liburan, dia ke Amerika dan Kanada. Tidak disangka, di sana dia bertemu dengan teman pengguna narkobanya ketika di Australia. Anak saya sebenarnya menolak menggunakan lagi. Namun dia dipaksa dan akhirnya anak saya kambuh lagi, bahkan makin parah, pak." Selama bercerita, beliau tak henti mengusap pipinya yang basah dengan air mata yang terus meleleh seperti tak mau berhenti. "Pak Jamil tahu berapa biaya pengobatan narkoba dan penyakit anak saya?" Tanpa menunggu jawaban saya, lelaki separuh baya itu berkata lirih, "Biayanya lima ratus dua puluh enam juta rupiah. Sama persis dengan uang kotor yang saya terima, pak!" Beliau tertunduk dan menggeleng-gelengkan kepala disertai isak tangis yang makin keras. Dengan terbata lelaki itu berkata, "Uang korupsi itu telah merusak anak saya, pak. Saya menyesal. Saya bukan orang tua yang baik. Saya telah merusak anak saya, pak!" Saya peluk erat lelaki itu. Saya biarkan air matanya tumpah. Tangisnya semakin keras.... Wahai saudara, haruskah menunggu anak kita menjadi pengguna narkoba dan sakit untuk berhenti korupsi?
Saya kemudian merenungi diri. Saya sungguh tak mau anak saya bernasib seperti anak pejabat itu yang terkena narkobi (=narkotika biadab :-P).
Buat apa cari rejeki mewah duniawi namun tidak halal, kalau ujung-ujungnya akan habis untuk mereparasi "karma" yang jadi upahnya?.
If you want your children to turn out well, spend twice as much time with them, and half as much money. (Abigail van Buren - American Columnist)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H