Perjalanan kami hari itu memang cukup melelahkan. Mereka berangkat dari Jambi sejak pagi, lalu bertemu denganku di Kota Sarolangun sekitar jam menjelang tengah hari. Sejatinya mereka, akan melakukan orientasi tempat kerja di Wilayah Marga Bukit Bulan Kabupaten Sarolangun. Tapi kami mendapat kabar dari pejabat setempat, bahwa situasi sedang tidak kondusif. Akses menuju Bukit Bulan saat itu ditutup oleh para oknum Penambang Emas Tanpa Izin (PETI), yang protes karena aktivitas mereka ditertibkan oleh aparat maupun maupun masyarakat setempat. Setelah menemui beberapa orang untuk memastiakn situasi terkini akses menuju Bukit Bulan, akhirnya aku memutuskan orientasi rekan baru ini dipindahkan ke Wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Serampas Kabupaten Merangin.
"Boleh berhenti bentar bang?" pinta Iyun.
"Mmm...." aku ragu. Sedari tadi aku memang menyarankan Iyun meminta supir menepi dan berisitirahat sebentar, jika ia merasa pusing atau mau muntah. Tapi iya selalu bilang, "aman bang, masih kuat." Tapi kali ini ia memintanya disaat suasana kurang kondusif.
Bagaimana tidak, Gunung Masurai yang sejatinya tampak kokoh berdiri tak lagi terlihat, hari sudah mulai gelap. Posisi waktu itu pun berada tepat di koridor satwa yang menghubungkan Gunung Masurai dengan Gunung Nilo dan Gunung Sumbing yang ada disebelahnya. Koridor tersebut dibelah jalan sepanjang kira-kira 5 km. Rumah Hitam, demikian orang-orang di Kampung sekitar menyebut lokasi tersebut, dan menceritakannya dengan bumbu-bumbu penuh misteri.
Beberapa tahun lalu, tatkala aku masih sering mondar-mandir pakai motor di daerah ini, ada suasana ngeri-ngeri sedap tatkala melintasi jalan tersebut. Pernah suatu waktu, Qiting rekanku yang konsen terhadap keanekaragaman hayati menepikan motornya di daerah itu, dan sengaja menunggu aku yang sudah jauh tertinggal.
"Mana GPS mu" ujar Qiting saat aku menghampirinya. "Aku melihat anjing hutan melintas disini, aku mau mengambil gambarnya, tapi ia melintas dan menghilang begitu cepat. Abadikan saja koordinatnya dengan GPSmu".
Lain Qiting lain pula Asep Ayat, ahli burung asal Bogor, yang juga konsen terhadap satwa liar. "Aing di Bangko, dimana maneh?"Â kata Asep dari ujung telepon. Hampir setiap ke Jambi dia selalu menelponku. Kebetulan aku juga sedang di Bangko (Ibukata Kabupaten Merangin) waktu itu, malamnya kami pun janji ketemuan untuk berbagi cerita sambil minum teh telor, di pusat kuliner malam Kota itu. Konon katanya, dalam beberapa hari itu Asep dan kawan-kawannya sedang melakukan riset diseputaran Gunung Masurai
"Aing tadi nepi ka muringkat bulu punduk, anak maung tilu ngahalangan jalan. Gelo..." kata Asep menggunakan bahasa sunda dengan logat yang kental. "Bulu kudukku sampai berdiri, tiga anak harimau tadi menghadang perjalananku"
"Dimana?"
"Eta deukeut Rumah Hitam"