Tulisan ini merupakan kajian singkat akan peran skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau Perhutanan Sosial dalam menekan laju deforestasi, serta menghitung jumlah reduksi emisi karbon yang dihasilkan oleh skema PHBM tersebut. Kajian dilakukan terhadap 36 site PHBM dampingan KKI Warsi yang berada di Propinsi Jambi dan Sumatera Barat, dengan luas total 62,837 hektar.
Skema PHBM yang dipilih adalah Hutan Adat (HA), Hutan Desa (HD) dan Hutan Lindung Desa (HLD), karena merupakan skema PHBM dengan pengelolaan hutan alam. Sedangkan tahun perhitungan dilakukan antara tahun 2013 dan 2015, dimana dalam dua tahun tersebut KKI Warsi melakukan program, “Building REDD+ from the bottom up: Civil society as agent of change for a transformative and sustainable REDD+”.
Areal yang ditetapkan dalam skema PHBM tidak 100% merupakan tutupan hutan alam. Berdasarkan hasil analisis menggunakan Citra Satelit Landsat tahun 2013, dari 62,837 hektar luas PHBM memiliki 89% tutupan hutan atau 55,909 hektar. Namun Pada tahun 2015 angka tersebut sedikit berkurang menjadi 55,085 hektar.
Menilik pada trend deforestasi Sumatera, berdasarkan kajian yang dilakukan WWF, dalam tahun 1995 hingga 2009 Pulau Sumatera kehilangan tutupan hutan sebesar 12.5 juta, dimana pada tahun 1985 tutupan hutan Sumatra adalah 25.3 juta hektar, sedangkan pada tahun 2009 hanya tersisa seluas 12.8 juta hektar. Jika dirata-rata, setiap tahunnya Pulau Sumatera kehilangan hutan sebesar lebih dari 500 ribu hektar atau 2.1% per tahun. Angkatersebut selanjutnya kita jadikan baseline untuk memproyeksikan laju deforestasi dan emisi kedepan (historical baseline).
Mengacu pada trend deforestasi 2.1% per tahun, maka dari luas tutupan hutan di Areal PHBM yang yang pada tahun 2013 berjumlah 55,909 hektar, maka pada tahun 2015 diproyeksikan akan hilang sebesar 2,324 hektar (proyeksi deforestasi). Namun berdasarkan analisa citra 2013 dan 2015 kehilangan hutan hanya mencapai 825 hektar (deforestasi factual). Dengan kata lain skema PHBM mampu menyelamatkan hutan sebesar 1,499 hektar dalam 2 tahun, atau menekan laju deforestasi dan emisi sebesar 65% per tahun.
Sebenarnya, jika ditilik lebih detil, dari 36 site kajian, hanya di 4 site saja yang masih terjadi deforestasi. Deforestasi terbesar terjadi pada satu Hutan Desa di Tanjabtim – Jambi, akibat kebakaran hutan akhir tahun lalu. Sisanya, sebanyak 34 site berhasil mencapai zero deforestation, bahkan ada 1 site yang justru menghasilkan serapan karbon. Jika dilihat lebih makro, skema PHBM di Sumatera Barat juga mencapai zero deforestation.
Capaian tersebut, tentu bukanlah sebuah capaian yang bisa didapat dengan mudah, ada berbagai tantangan, usaha dan do’a untuk mendapatkannya. Kedepan, tantangan tersebut tentunya akan lebih berat lagi. Apalagi upaya mempertahankan selalu membutuhkan usaha ekstra dibanding upaya untuk mencapainya. Karenanya dukungan para pihak menjadi sangat dibutuhkan untuk perjuangan ini.
Saya berpikir, suatu saat nanti ada ‘Zero Deforestation Award’ dari pihak terkait, yang bisa diberikan secara berkala kepada Kelompok Masyarakat Pengelola yang berhasil melestarikan hutan. Penghargaan ini diharapkan mampu menjadi supplement penyemangat dalam upaya-upaya pelestarian hutan. Karena upaya pelestarian hutan merupakan upaya pengendalian iklim, yang manfaatnya tidak saja bisa dinikmati oleh masyarakat setempat, tetapi untuk kita semua.
“Hutan Habis, Bumi Menangis”
Selamatkan Bumi…! Stop Global Warming…!