Pada sesi ketiga inilah saya melihat Pelatihan ini benar-benar beda dengan pelatihan lainnya. Jika dibanyak pelatihan  kita tak jarang menyaksikan instrukturnya sibuk ‘ngoceh’ sedangkan pesertanya terkantuk-kantuk bahkan tertidur, maka di Pelatihan ini saya menjadi bagian instruktur yang tidur ketika para peserta sedang sibuk berkerja. Sesi tiga biasanya dilakukan setelah makan siang, jadi ketika tim sedang melakukan praktek survei yang memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam. Instrukturnya cukup menunggu di base camp (biasanya rumah warga), sambil mendengarkan music dan tiduran hingga tim selesai melakukan survei. Setelah tim kembali, selanjutnya kita membahas dan mengkritisi bersama hasil survei yang sudah dilakukan. Setelah sesi tiga inilah kita bisa menyatakan ‘lulus’ atau tidaknya tim ini menjadi Kader Pemetaan, dan sejauh ini semua tim yang saya latih 100% lulus.  Â
Keempat, merancang perencanaan survei lapangan. Setelah tim dinyatakan lulus, hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah merancang perencaan survei lapangan. Perencanaan survei lapangan, meliputi rencana dari mana survei akan dimulai, kapan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan, apa saja dan berapa banyak logistik yang diperlukan, serta perlu atau tidaknya tambahan orang diluar tim inti yang akan dilibat. Beberapa hal yang membedakan rencana survei oleh ‘tim ahli lokal’ dan ‘tim ahli dari luar’ adalah, waktu yang dibutuhkan bisa lebih cepat karena mereka mengenal ruang dan sangat terbiasa ‘berpetualang’. Kemudian kebutuhan logistic bisa lebih hemat, karena mereka tak membutuhkan ‘tetek bengek’ perlengkapan campingmacam orang kota, seperti tenda dom, sleeping bag, hemok, ransel carrier, trangia, sepatu tracking, serta berbagai suplemen makanan yang bisa macam-macam. Yang dibutuhkan cukup plastic hitam untuk tenda, karung untuk alas tidur, bahan makanan secukupnya, serta kebutuhan survival lainnya. Jauh lebih simpel.
Kelima, survei lapangan. Setelah perencanaan survei disusun dan kebutuhan lapangan disiapkan, maka survei lapangan pun sudah bisa dimulai. Saat survei lapangan dilakukan, ahli peta yang sudah mentransfer ilmunya bisa meninggalkan nagari bersangkutan dan ‘bergerilya’ ke desa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Lalu kembali ke kampung tersebut saat survei sudah selesai untuk mengambil data lapangan hasil survei. Untuk mengawal proses dan mengatasi sedikit trouble yang mungkin terjadi selama proses pemetaan, ada fasilitator desa yang mengawalnya dan sudah dibekali tentang OKe SIPP sebelumnya.
Ketujuh, konsultasi public (KP). KP merupakan proses penyampaian hasil pemetaan partisipatif kepada para pihak yang ada di Kampung. Proses ini sekaligus menjadi bagian dari verifikasi, koreksi, dan evaluasi terhadap hasil survei yang sudah dilakukan tim yang terdiri dari anggota masyarakat nagari sendiri. Hal yang menarik dalam KP ini adalah, nara sumber utama yang mempresentasikan peta keruangan hasil survei adalah masyarakat sendiri yang terdiri dari tim survei. Selanjutnya para tokoh masyarakat setempat yang verifikasi, koreksi, dan evaluasi terhadap hasil survei yang sudah dilakukan. Hasil KP inilah yang kemudian menjadi masukan untuk finalisasi data dan rencana tindak lanjut kegiatan. Tugas ahli pemetaan titahap ini adalah memandu dan memberikan penjelasan-penjelasan teknis, seperti luas wilayah dan pembagian wilayah berdasarkan peta kawasan hutan.
Kedelapan, kroscek dengan desa tetangga. Kroscek ini merupakan proses verifikasi dengan nagari tetangga dengan tujuan untuk menghindari kesalahpahaman tentang wilayah yang seringkali menimbulkan terjadinya konflik batas antar desa. Tahapan ini menjadi ranah Pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan.
Sejauh ini untuk menjalankan semua proses ini, berkisar antara 1 sampai 2 minggu tiap desa. Untuk tahap 1 – 4, waktu yang dibutuhkan maksimal 2 hari. Untuk tahap 5, sangat tergantung pada luasan desa dan jumlah tim yang akan diturunkan. Tahap 6, maksimal 3 hari. Tahap 7, cukup 1 hari. Tahap 8, bisa satu hari. Tahap 9, cukup 1 hari.
Sejauh ini metode OKe SIPP sudah diaplikasikan di Jambi dan Sumatera Barat (Sumbar). Di Jambi kita sudah mengaplikasikan metode OKe SIPP untuk pemetaan ruang mikro pada 9 desa dalam Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo. Sedangkan Di Sumbar metode OKe SIPP sudah diaplikasikan untuk pemetaan areal skema Perhutanan Sosial, di 12 Nagari dalam 7 Kabupaten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H