Ini adalah kesempatan yang langka. Saling belajar dengan kawan-kawan luar negeri nun jauh disana, dari Benua Afrika, tepatnya Republik Demokratik Congo (RDC). Kami juga bertemu di tempat yang cukup jauh, di desa paling ujung, di pinggir hutan, tepatnya di Jorong Simancuang Kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat, atau sekitar 180 km dari kota Padang.
Jangankan bicara tentang Congo yang jauh di Afrika sana, bicara tentang Simancuang saja yang ada di negeri sendiri bagi kebanyakan kita tentu masih asing. Tapi disinilah serunya.
Kawan-kawan dari Congo yang datang ke Simancuang adalah para penggiat lingkungan yang ingin berbagi pengalaman tentang pemetaan partisipatif, advokasi hak kelola rakyat, dan kearifan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Bersama masyarakat dan kawan-kawan WARSI yang telah lama menjadi pendamping di Simancuang, dikemaslah acara ini jadi menarik.
Masyarakat Simancuang melalui Kepala Jorong Arisman, bercerita tentang sejarah dan profil Jorong Simancuang. Selanjutnya ketua Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Simancuang Edison, bercerita tentang perjuangan mereka meminta pengakuan hak kelola hutan kepada Negara, serta bagaimana inisiatif dan kearifan local masyarakat Simancuang dalam mengelola sumber daya alam.
[caption caption="Penampakan Gunung Kerinci dari Jorong Simancuang"][/caption]
“Simancuang mulai dihuni oleh masyakat sejak awal tahun 70-an, masyarakat datang ke Simancuang untuk melakukan budidaya tanaman pada sawah” ujar Arisman. “Saat ini Jorong Simancuang secara administrative berada dibawah Nagari Alam Pauh Duo. Di daerah lain jorong berarti dusun, Nagari berarti desa” lanjutnya.
Menurut Edison, dengan mata pencarian warga Simancuang yang hampir 100% petani sawah, pengelolaan hutan menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sawah membutuhkan air, sedangkan hutan adalah penyedia air. Jika salah urus dalam mengelola hutan, maka akibatnya akan sangat fatal bagi mata pencarian masyarakat.
Edison menambah, selain sebagai sumber air untuk sawah, hutan Jorong Simancuang juga berfungsi untuk penyedia air bagi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), serta ada hasil hutan bukan kayu yang bisa dimanfaatkan hasilnya. Selain itu ada berbagai jenis tumbuhan dan hewan juga yang terdapat di hutan Simancuang, yang berfungsi untuk keseimbangan keanekaragaman hayati.
“Singkatnya, keberadaan hutan sangat penting bagi masyarakat Simancuang” tandas Edison.
Jean Paul Ngalam salah satu peserta dari Congo menanggapi pemaparan yang disampaikan kedua tokoh Simancuang tersebut. Dia salut dengan cara masyarakat Simancuang mengelola hutan, bahkan dia kagum mendengar cerita dan mengetahui langsung keberadaan hewan yang ada di hutan Simancuang.
“Di tempat kami tak ada lagi hewan di hutan. Akibat perang berkepanjangan, masyarakat memburu hewan di hutan untuk bahan makanan” ujar Jean Paul.
Dari tempat kami diskusi hamparan hutan memang terpampang jelas. Tak jarang kicau burung yang berceloteh terdengar genit di angkasa. Kicauan tersebut sesekali ditimpali suara ‘tenor’ primate yang berteriak kencang, berpadu dengan desir angin membentuk harmoni orchestra alam.
Kemudian Jean Paul bercerita tentang Congo. Secara geografis posisi RDC sama dengan Indonesia, yakni berada di garis katulistiwa sehingga tipe hutannya pun sama, yaitu hutan tropis dataran rendah. Daerah berada disepanjang aliran Sungai Conggo, sehingga hampir tidak memiliki garis pantai. Sedangkan bahasa persatuan masyarakat Conggo adalah bahasa Perancis
Sama dengan di Indonesia konflik lahan di Congo pun cukup tinggi. Hampir semua lahan di Congo sudah dikapling oleh konsesi berbagai perusahaan, baik perusahaan, perkebunan, kehutanan, maupun tambang. Sedangkan lahan untuk kelola rakyat, baru disusun regulasinya namun belum ada implementasinya.
Begitu juga dengan pemetaan partisipatif. Apa yang dilakukan di Congo hampir sama persis dengan yang dilakukan oleh kawan-kawan di WARSI. Diawali dengan pembuatan sketsa peta, survey lapangan, pengolahan data, dan verifikasi data. Satu yang beda adalah dalam komposisi tim survey. Jika di WARSI komposisi tim survey setidaknya harus terdiri dari orang yang tahu ruang dan orang yang bisa mengoperasikan GPS dan mencatat data. Sedangkan di Congo ada syarat tambahan yakni harus ada satu orang perempuan, sehingga komposisinya menjadi satu orang tua yang ngerti wilayah, dua orang anak muda yang ngerti GPS dan bisa mencatat data, dan satu orang perempuan.
Menurut Annie Sinanduku aktivis perempuan dari Congo, peranan perempuan Congo dalam mengelola sumber daya alam sangat penting. Perempuan Congo terbiasa masuk hutan, karena mereka wajib tahu isi dan seluk beluk hutan. Begitu juga dalam menggarap lahan pertanian, perempuan lah yang melakukan semuanya. Sementara uang yang dihasilkan dikelola oleh perempuan
“Sayangnya, setelah perempuan banting tulang mencari uang. Kaum laki-laki yang memegang uang seringkali menghambur-hamburkan uangnya, bahkan untuk biaya kawin lagi” lanjut Annie dengan wajah getir.
“Masalah-masalah seperti inilah, yang kami advokasi dan terus diperjuangkan” tandas Annie.
[caption caption="Annie Sinanduku, aktivis perempuan dari Congo"]
Rainal Daus dari WARSI berbagi cerita tentang advokasi pengakuan hak kelola oleh masyarakat. Hak kelola rakyat atau yang dikenal dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), sudah ada dalam berbagai skema seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakat, Hutan Adat, dan Hutan Tanaman Rakyat. Skema tersebut mulai berkembang setelah tahun 2000-an.
“Seperti di Conggo yang wilayahnya nyaris habis oleh konsesi perusahaan, saat ini WARSI bersama NGO lainnya di Indonesia sudah mendorong pemerintah untuk membagi spot-spot kecil yang bebas konsesi, untuk dijadikan PIAPS atau Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial” lanjut Rainal.
“Nantinya PIAPS inilah yang akan menjadi wilayah kelola rakyat” tandasnya.
Tim Conggo awalnya sangat kaget melihat masyarakat Simancuang yang begitu aktif menjelaskan semua hal tentang wilayahnya. Sedangkan WARSI sebagai pendamping tidak banyak bicara, seolah tidak bekerja. Sedangkan ditempat lain biasanya NGO-nya yang banyak bicara, dan masyarakat biasanya hanya jadi pendengar setia.
“Saya tahu dengan akses yang baik, ada listrik, sekolah dan puskesmas, Simancuang jauh lebih maju dari desa-desa kami di Congo, yang sulit di akses, tak ada listrik, tak ada sarana kesehatan dan banyak yang buta huruf. Tapi dengan masyarakat yang sangat aktif dan fasih sekali menjelaskan tentang semua hal mengenai pengelolaan sumber daya alam, saya benar-benar kagum” ujar Jean Paul.
Menanggapi hal tersebut Rainal menjawab, bahwa itulah proses yang terus dibangun oleh WARSI. Masyarakat harus kuat dan paham betul mengenai apa yang harus mereka lakukan untuk mengelola sumber daya alam. Sehingga pada saatnya nanti, ketika WARSI tak bisa lagi bekerja untuk mereka, masyarakat sudah kuat, dan siap berjuang secara mandiri tanpa harus tergantung pada siapapun.
Disela-sela berbagi pengalaman serius kami pun menyempatkan diri untuk bertanding bola antar Negara, bersama masyarakat Simancuang. Selain itu tentu saja kami menyempatkan diri untuk selfie, yang ternyata mereka pun sangat doyan selfie hehehe…
[caption caption="Selfie bareng kawan-kawan dari Congo di Hutan Simancuang"]
Serta tak lupa kamipun belajar bahasa masing-masing. Jadi ketika mereka berujar, selamat pagi, terima kasih dan sampai jumpa, kami pun bisa menjawab dengan kata bounjour, merci, dan au revoir.
Akhirnya, Adie du Amoung Simancuang…!
[caption caption="Kawan-kawan yang doyan selfie di Jorong Simancuang hehe..."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H