Tim Conggo awalnya sangat kaget melihat masyarakat Simancuang yang begitu aktif menjelaskan semua hal tentang wilayahnya. Sedangkan WARSI sebagai pendamping tidak banyak bicara, seolah tidak bekerja. Sedangkan ditempat lain biasanya NGO-nya yang banyak bicara, dan masyarakat biasanya hanya jadi pendengar setia.
“Saya tahu dengan akses yang baik, ada listrik, sekolah dan puskesmas, Simancuang jauh lebih maju dari desa-desa kami di Congo, yang sulit di akses, tak ada listrik, tak ada sarana kesehatan dan banyak yang buta huruf. Tapi dengan masyarakat yang sangat aktif dan fasih sekali menjelaskan tentang semua hal mengenai pengelolaan sumber daya alam, saya benar-benar kagum” ujar Jean Paul.
Menanggapi hal tersebut Rainal menjawab, bahwa itulah proses yang terus dibangun oleh WARSI. Masyarakat harus kuat dan paham betul mengenai apa yang harus mereka lakukan untuk mengelola sumber daya alam. Sehingga pada saatnya nanti, ketika WARSI tak bisa lagi bekerja untuk mereka, masyarakat sudah kuat, dan siap berjuang secara mandiri tanpa harus tergantung pada siapapun.
Disela-sela berbagi pengalaman serius kami pun menyempatkan diri untuk bertanding bola antar Negara, bersama masyarakat Simancuang. Selain itu tentu saja kami menyempatkan diri untuk selfie, yang ternyata mereka pun sangat doyan selfie hehehe…
[caption caption="Selfie bareng kawan-kawan dari Congo di Hutan Simancuang"]
Serta tak lupa kamipun belajar bahasa masing-masing. Jadi ketika mereka berujar, selamat pagi, terima kasih dan sampai jumpa, kami pun bisa menjawab dengan kata bounjour, merci, dan au revoir.
Akhirnya, Adie du Amoung Simancuang…!
[caption caption="Kawan-kawan yang doyan selfie di Jorong Simancuang hehe..."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H