Dari tempat kami diskusi hamparan hutan memang terpampang jelas. Tak jarang kicau burung yang berceloteh terdengar genit di angkasa. Kicauan tersebut sesekali ditimpali suara ‘tenor’ primate yang berteriak kencang, berpadu dengan desir angin membentuk harmoni orchestra alam.
Kemudian Jean Paul bercerita tentang Congo. Secara geografis posisi RDC sama dengan Indonesia, yakni berada di garis katulistiwa sehingga tipe hutannya pun sama, yaitu hutan tropis dataran rendah. Daerah berada disepanjang aliran Sungai Conggo, sehingga hampir tidak memiliki garis pantai. Sedangkan bahasa persatuan masyarakat Conggo adalah bahasa Perancis
Sama dengan di Indonesia konflik lahan di Congo pun cukup tinggi. Hampir semua lahan di Congo sudah dikapling oleh konsesi berbagai perusahaan, baik perusahaan, perkebunan, kehutanan, maupun tambang. Sedangkan lahan untuk kelola rakyat, baru disusun regulasinya namun belum ada implementasinya.
Begitu juga dengan pemetaan partisipatif. Apa yang dilakukan di Congo hampir sama persis dengan yang dilakukan oleh kawan-kawan di WARSI. Diawali dengan pembuatan sketsa peta, survey lapangan, pengolahan data, dan verifikasi data. Satu yang beda adalah dalam komposisi tim survey. Jika di WARSI komposisi tim survey setidaknya harus terdiri dari orang yang tahu ruang dan orang yang bisa mengoperasikan GPS dan mencatat data. Sedangkan di Congo ada syarat tambahan yakni harus ada satu orang perempuan, sehingga komposisinya menjadi satu orang tua yang ngerti wilayah, dua orang anak muda yang ngerti GPS dan bisa mencatat data, dan satu orang perempuan.
Menurut Annie Sinanduku aktivis perempuan dari Congo, peranan perempuan Congo dalam mengelola sumber daya alam sangat penting. Perempuan Congo terbiasa masuk hutan, karena mereka wajib tahu isi dan seluk beluk hutan. Begitu juga dalam menggarap lahan pertanian, perempuan lah yang melakukan semuanya. Sementara uang yang dihasilkan dikelola oleh perempuan
“Sayangnya, setelah perempuan banting tulang mencari uang. Kaum laki-laki yang memegang uang seringkali menghambur-hamburkan uangnya, bahkan untuk biaya kawin lagi” lanjut Annie dengan wajah getir.
“Masalah-masalah seperti inilah, yang kami advokasi dan terus diperjuangkan” tandas Annie.
[caption caption="Annie Sinanduku, aktivis perempuan dari Congo"]
Rainal Daus dari WARSI berbagi cerita tentang advokasi pengakuan hak kelola oleh masyarakat. Hak kelola rakyat atau yang dikenal dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), sudah ada dalam berbagai skema seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakat, Hutan Adat, dan Hutan Tanaman Rakyat. Skema tersebut mulai berkembang setelah tahun 2000-an.
“Seperti di Conggo yang wilayahnya nyaris habis oleh konsesi perusahaan, saat ini WARSI bersama NGO lainnya di Indonesia sudah mendorong pemerintah untuk membagi spot-spot kecil yang bebas konsesi, untuk dijadikan PIAPS atau Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial” lanjut Rainal.
“Nantinya PIAPS inilah yang akan menjadi wilayah kelola rakyat” tandasnya.