Mohon tunggu...
Fredi Kastama
Fredi Kastama Mohon Tunggu... -

kelihatannya nggak ada yang istimewa dari pemuda kampung macam saya ini...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Masih Ada Bintang-bintang untuk Anis

4 Juni 2011   08:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seharusnya gadis mungil itu menggemaskan,  siapapun yang melihatnya pasti tersenyum tatkala kelucuan polah keluar dari tubuhnya yang kecil tapi gesit. Rambutnya yang lurus sebahu, seharusnya selalu rapi, terurai dengan  bandana diatasnya, bahkan mungkin di taburi pernak-pernik warna pita yang bergoyang  flamboyan saat di terpa angin pantai. Seharusnya tiap sore si mungil berlarian di atas pasir pantai bersama kawan-kawan seangkatannya. Dan pulang ketika nanti  panggilan sang bunda menyuruhnya menghentikan permainan, karena matahari sudah  meredup di cakrawala barat. Atau paling tidak, wajah kecilnya yang membulat seharusnya bersih dan mengkuning. Lentik bulu mata yang menghiasi mata beningnya akan sangat menggemaskan bila  ia berbicara bohong. Atau, pipinya yang ranum berubah kemerahan tatkala ia ketahuan memakan apa yang diambilnya tanpa sepengetahuan sang bunda. Tapi itu bukan gambaran untuk Anis yang nanti akan aku sebutkan,  Itu bukan anis yang oleh emaknya diberi nama Nisrina Rofi’ah, yang sudah seharian duduk dibebatuan tanggul pantai, sendirian menanti kapal yang mengangkut bapaknya pulang  dari samudra. Duduk menatap jauhnya lautan bersama dua tumpuk rantang di sampingnya… Anis, bocah mungil yang tubuhnya kurus dan berdaki, berbalut pakaian Sekolah Dasar yang kerah bajunya telah mengelupas, badge almamater sekolahnya yang telah ia tinggalkan setahun yang lalu karena bapak tak mampu membiayainya,  telah memudar. Sesekali mata kecilnya memincing ketika pasir halus yang terbawa sapuan angin barat menerpa wajahnya dengan keras. Serta sesekali pula ia menggunggam. ''Pak’e.., simak sudah  nunggu pak’e di rumah...,''. Seharian lebih berada di bebatuan tanggul pantai, Matahari yang menemaninya dengan garang sudah lama beringsut keperaduan.  Sinarnya meredup kian terhalang oleh awan langit barat, seakan pantai menjadi murung  dan buih-buih ombak telah berubah menjadi pucat ''Pak’e, pulang.. simak sudah nunggu, Hamam badannya panas!!!!'' Pekik Anis  berjingkrak, memecah angin samudra, namun dengan cepat melemah ketika dari jauh serombongan  kapal tua mendekati pintu dermaga.. burung camar terbang melayang, berputar-putar mengelilingi geladak-geladak kapal yang membisu membawa ikan-ikan tangkapan. Anis percaya bahwa bapaknya sore ini akan pulang, bapak  tidak  akan kalah oleh ganasnya lautan. Ia memang gelisah, tapi karena emak panik, Hamam adiknya terserang panas secara tiba-tiba. ''Anis, cari bapakmu, sampai ketemu. Adikmu tubuhnya makin panas,'' katanya seraya mendiamkan tangis Hamam yang belum genap delapan bulan dengan untaian-untaian sholawat nabi yang sering ia dengarkan dari corong mushola. Maka berlarilah Anis ke tanggul pantai menanti pulang bapaknya.. Konon ketika anis masih dalam kandungan, pantai itu masih sesak oleh perkampungan nelayan. Sampan, perahu cadik, gethek dan kapal korsin berjejer rapi menghias di muara. Setiap bulan purnama, pantai itu menjelma menjadi daratan perak berkilauan. Sangat-sangat indah, Anak-anak nelayan bertelanjang dada, riang berlomba menangkapi ikan-ikan yang terseret ke bibir muara  karena ombak pasang. Namun semenjak pemerintah lebih berpihak kepada penyuplaian kebutuhan perumahan Kaum “Have” yang seharusnya menjadi tempat pembuangan air ketika rob menerjang. Perkampungan itu pelan-pelan  tergusur oleh gerusan air laut yang kian hari kian naik. Kampung yang dulu hidup oleh aktivitas bahari di tinggalkan oleh nelayan, akhirnya mereka hidup terpencar membawa nasib mereka sendiri-sendiri. Anis berpindah ke lahan semak-semak yang tak jauh dari pantai. Mereka hidup  menempati gubuk di bawah sela-sela pepohonan cemara. Dalam gubuk berlantai tanah dan berlapis pasir yang selalu hangat itu mereka  hidup bertetangga dengan pepohonan, semak-semak, dan alang-alang. Sampan bapaknya yang dibeli dari hasil utang KUD dengan bunga 1 persen,seminggu lalu ditambatkan jauh di bagian pantai yang menjorok ke laut bersama sampan-sampan nelayan kecil lainnya. ''Bintang-bintang itu yang menuntun bapak pulang,''  demikian suatu kali bapaknya berkata pada Anis yang tiduran manja di paha bapaknya.. Lalu, dengan seujung tangkai, tangan bapaknya menggambar letak bintang-bintang di tanah. Anis  berbinar menyaksikan gambar yang mirip kerangka layang-layang itu. ''Kamu harus tahu Nis, kalau di tengah laut malam hari, bintang-bintang ini menjadi petunjuk jalan. Kamu tidak akan tersesat mengikuti bintang-bintang,''. ''wah Bintang-bintang itu temannya Pak'e ya?. Teman anis juga ya pak.'' Dari itu anis sering diam-diam keluar sendirian duduk di depan gubuk menikmati sajian  bintang-bintang yang berpencaran di langit malam, kadang angin malam yang bertiup pelan, mengirimkan kesegaran laut, membuatnya pulas tertidur diatas tikar bodol yang dirajut emaknya. Dari rumah yang tak pantas untuk disebut rumah, Anis kecil memang semakin mengerti tentang laut, tentang kapan datangnya camar, tentang kapan akan datangnya badai dan rob besar yang sewaktu bisa datang. serta bisa merasakan kapan angin baratan dan timuran. Tetapi ia belum mengerti mengapa Pemerintah yang kata bapaknya adalah kumpulan orang-orang pinter, ternyata tak  bisa membaca nasib para nelayan kecil seperti bapaknya. Kenapa laut yang begitu melimpah isinya, justru tak  memberikan jaminan materi yang  lebih baik bagi nelayan yang mati-matian mencarinya. malah  hasil kerja orang-orang seperti bapaknya hanya untuk memperkaya para cukong bermata sipit  maupun cukong berhidung mancung,  yang kadang mereka sendiri tak mengetahui apa beda laut dengan samudra. Atau kenapa proyek-proyek di tepi laut  tak sekalipun membuat Lek Wardi, Lek Noto, Lek Kardi atau Mbah Gus Salim bisa mencicipi sujud, nangis di pelataran  Ka’bah Baitullah untuk sekali saja dalam seumur hidupnya?? Anis memang belum saatnya untuk tau..  bahwa anugerah Tuhan yang semula serba baik, telah diubah menjadi buruk oleh suatu kaum.  Dan Anis pun belum saatnya untuk tau bahwa kita adalah kaum itu, kaum yang telah  mengubah anugerah dan nikmat Tuhan menjadi bencana dan laknat.  Tuhan memberi Kesyukuran namun kita khianati dengan kekufuran.  Dan saat Tuhan menanamkan iman dan kesejukan dilubuk hati, kita malah asyik menyekutukan-Nya dengan berhala-berhala hiburan, politik, dan ekonomi. Namun ada Satu hal yang ditanamkan bapaknya kepada Anis, bahwa apapun yang terjadi, Tuhan tidak  sedang membencinya, dan kelak bapaknyapun tetap berharap, anis menjadi perempuan dewasa sehalus “mawar putih yang  memiliki derajat yang tinggi” (Nisrina Rofiah)

  • cerita dalam tulisan ini hanya fiktif,  nama, pelaku hanya rekaan penulis saja yang pada saat ngutak-utik kerjaannya sampai ga isa tidur.... dan menemukan inspirasi  dari  dua kata Nisrina (mawar Putih) dan Rofiah (Derajat yang tinggi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun