Seharusnya gadis mungil itu menggemaskan, siapapun yang melihatnya pasti tersenyum tatkala kelucuan polah keluar dari tubuhnya yang kecil tapi gesit. Rambutnya yang lurus sebahu, seharusnya selalu rapi, terurai dengan bandana diatasnya, bahkan mungkin di taburi pernak-pernik warna pita yang bergoyang flamboyan saat di terpa angin pantai. Seharusnya tiap sore si mungil berlarian di atas pasir pantai bersama kawan-kawan seangkatannya. Dan pulang ketika nanti panggilan sang bunda menyuruhnya menghentikan permainan, karena matahari sudah meredup di cakrawala barat. Atau paling tidak, wajah kecilnya yang membulat seharusnya bersih dan mengkuning. Lentik bulu mata yang menghiasi mata beningnya akan sangat menggemaskan bila ia berbicara bohong. Atau, pipinya yang ranum berubah kemerahan tatkala ia ketahuan memakan apa yang diambilnya tanpa sepengetahuan sang bunda. Tapi itu bukan gambaran untuk Anis yang nanti akan aku sebutkan, Itu bukan anis yang oleh emaknya diberi nama Nisrina Rofi’ah, yang sudah seharian duduk dibebatuan tanggul pantai, sendirian menanti kapal yang mengangkut bapaknya pulang dari samudra. Duduk menatap jauhnya lautan bersama dua tumpuk rantang di sampingnya… Anis, bocah mungil yang tubuhnya kurus dan berdaki, berbalut pakaian Sekolah Dasar yang kerah bajunya telah mengelupas, badge almamater sekolahnya yang telah ia tinggalkan setahun yang lalu karena bapak tak mampu membiayainya, telah memudar. Sesekali mata kecilnya memincing ketika pasir halus yang terbawa sapuan angin barat menerpa wajahnya dengan keras. Serta sesekali pula ia menggunggam. ''Pak’e.., simak sudah nunggu pak’e di rumah...,''. Seharian lebih berada di bebatuan tanggul pantai, Matahari yang menemaninya dengan garang sudah lama beringsut keperaduan. Sinarnya meredup kian terhalang oleh awan langit barat, seakan pantai menjadi murung dan buih-buih ombak telah berubah menjadi pucat ''Pak’e, pulang.. simak sudah nunggu, Hamam badannya panas!!!!'' Pekik Anis berjingkrak, memecah angin samudra, namun dengan cepat melemah ketika dari jauh serombongan kapal tua mendekati pintu dermaga.. burung camar terbang melayang, berputar-putar mengelilingi geladak-geladak kapal yang membisu membawa ikan-ikan tangkapan. Anis percaya bahwa bapaknya sore ini akan pulang, bapak tidak akan kalah oleh ganasnya lautan. Ia memang gelisah, tapi karena emak panik, Hamam adiknya terserang panas secara tiba-tiba. ''Anis, cari bapakmu, sampai ketemu. Adikmu tubuhnya makin panas,'' katanya seraya mendiamkan tangis Hamam yang belum genap delapan bulan dengan untaian-untaian sholawat nabi yang sering ia dengarkan dari corong mushola. Maka berlarilah Anis ke tanggul pantai menanti pulang bapaknya.. Konon ketika anis masih dalam kandungan, pantai itu masih sesak oleh perkampungan nelayan. Sampan, perahu cadik, gethek dan kapal korsin berjejer rapi menghias di muara. Setiap bulan purnama, pantai itu menjelma menjadi daratan perak berkilauan. Sangat-sangat indah, Anak-anak nelayan bertelanjang dada, riang berlomba menangkapi ikan-ikan yang terseret ke bibir muara karena ombak pasang. Namun semenjak pemerintah lebih berpihak kepada penyuplaian kebutuhan perumahan Kaum “Have” yang seharusnya menjadi tempat pembuangan air ketika rob menerjang. Perkampungan itu pelan-pelan tergusur oleh gerusan air laut yang kian hari kian naik. Kampung yang dulu hidup oleh aktivitas bahari di tinggalkan oleh nelayan, akhirnya mereka hidup terpencar membawa nasib mereka sendiri-sendiri. Anis berpindah ke lahan semak-semak yang tak jauh dari pantai. Mereka hidup menempati gubuk di bawah sela-sela pepohonan cemara. Dalam gubuk berlantai tanah dan berlapis pasir yang selalu hangat itu mereka hidup bertetangga dengan pepohonan, semak-semak, dan alang-alang. Sampan bapaknya yang dibeli dari hasil utang KUD dengan bunga 1 persen,seminggu lalu ditambatkan jauh di bagian pantai yang menjorok ke laut bersama sampan-sampan nelayan kecil lainnya. ''Bintang-bintang itu yang menuntun bapak pulang,'' demikian suatu kali bapaknya berkata pada Anis yang tiduran manja di paha bapaknya.. Lalu, dengan seujung tangkai, tangan bapaknya menggambar letak bintang-bintang di tanah. Anis berbinar menyaksikan gambar yang mirip kerangka layang-layang itu. ''Kamu harus tahu Nis, kalau di tengah laut malam hari, bintang-bintang ini menjadi petunjuk jalan. Kamu tidak akan tersesat mengikuti bintang-bintang,''. ''wah Bintang-bintang itu temannya Pak'e ya?. Teman anis juga ya pak.'' Dari itu anis sering diam-diam keluar sendirian duduk di depan gubuk menikmati sajian bintang-bintang yang berpencaran di langit malam, kadang angin malam yang bertiup pelan, mengirimkan kesegaran laut, membuatnya pulas tertidur diatas tikar bodol yang dirajut emaknya. Dari rumah yang tak pantas untuk disebut rumah, Anis kecil memang semakin mengerti tentang laut, tentang kapan datangnya camar, tentang kapan akan datangnya badai dan rob besar yang sewaktu bisa datang. serta bisa merasakan kapan angin baratan dan timuran. Tetapi ia belum mengerti mengapa Pemerintah yang kata bapaknya adalah kumpulan orang-orang pinter, ternyata tak bisa membaca nasib para nelayan kecil seperti bapaknya. Kenapa laut yang begitu melimpah isinya, justru tak memberikan jaminan materi yang lebih baik bagi nelayan yang mati-matian mencarinya. malah hasil kerja orang-orang seperti bapaknya hanya untuk memperkaya para cukong bermata sipit maupun cukong berhidung mancung, yang kadang mereka sendiri tak mengetahui apa beda laut dengan samudra. Atau kenapa proyek-proyek di tepi laut tak sekalipun membuat Lek Wardi, Lek Noto, Lek Kardi atau Mbah Gus Salim bisa mencicipi sujud, nangis di pelataran Ka’bah Baitullah untuk sekali saja dalam seumur hidupnya?? Anis memang belum saatnya untuk tau.. bahwa anugerah Tuhan yang semula serba baik, telah diubah menjadi buruk oleh suatu kaum. Dan Anis pun belum saatnya untuk tau bahwa kita adalah kaum itu, kaum yang telah mengubah anugerah dan nikmat Tuhan menjadi bencana dan laknat. Tuhan memberi Kesyukuran namun kita khianati dengan kekufuran. Dan saat Tuhan menanamkan iman dan kesejukan dilubuk hati, kita malah asyik menyekutukan-Nya dengan berhala-berhala hiburan, politik, dan ekonomi. Namun ada Satu hal yang ditanamkan bapaknya kepada Anis, bahwa apapun yang terjadi, Tuhan tidak sedang membencinya, dan kelak bapaknyapun tetap berharap, anis menjadi perempuan dewasa sehalus “mawar putih yang memiliki derajat yang tinggi” (Nisrina Rofiah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
- cerita dalam tulisan ini hanya fiktif, nama, pelaku hanya rekaan penulis saja yang pada saat ngutak-utik kerjaannya sampai ga isa tidur.... dan menemukan inspirasi dari dua kata Nisrina (mawar Putih) dan Rofiah (Derajat yang tinggi)