Banyak orang belum mengetahui kontribusi tikus sebagai bahan pangan. Hanya saja sebagai bahan pangan sumber protein hewani, tikus bukanlah hal yang baru bagi sebagian komunitas penduduk asli di Afrika dan beberapa tempat lainnya.
Di Papua, bandikut  menurut dialek setempat dikenal dengan nama Tikus tanah adalah jenis satwa yang intensitas pemanfaatannya sangat tinggi. Selain karena habitatnya yang sangat dekat dengan manusia, biasanya di sekitar kebun, persebaran hewan ini sangat umum di semua wilayah di Tanah Papua. Secara morfologi  hewan ini menyerupai tikus, karena itu disebut dengan nama tikus tanah.
Dibandingkan species satwa lainnya, (Petocz, 1994), menjalaskan bahwa satwa ini tergolong dalam jenis mamalia prolifik, mampu beranak 5-6 kali dalam setahun dengan jumlah anak per kelahiran 3-4 ekor (Crysostomus, 2003). Menurut wilayah penyebarannya bandikut di Papua ditemukan hampir di seluruh kepulauan Papua (Papua New Guinea dan Papua) serta Australia. Satwa ini dikenal sebagai penghuni spektrum habitat yang sangat luas meliputi padang rumput, hutan terbuka, hutan sekunder dan di kebun-kebun masyarakat (Petocz, 1994). Penyebarannya mulai dari permukaan laut sampai dengan ketinggian 4000 meter di atas permukaan lain di daerah hutan tropis.
Konsumsi hewan buruan biasanya ditentukan oleh banyaknya kandungan daging yang dimilikinya. Demikian juga bandikut, meskipun kisaran bobot badannya bervariasi antara 200-750gr bahkan bisa lebih, tetapi memiliki persentase karkas yang cukup tinggi. Kajian yang dilakukan di Fakultas Peternakan Universitas Papua menunjukkan bahwa persentase karkas bandikut cukup tinggi. Dibandingkan beberapa ternak konvensional yang sudah sering dikonsumsi masyarakat, seperti kambing (40-50%), domba (55%), sapi (50-60%) dan kelinci (49-52%), kandungan karkas bandikut dapat mencapai 65-80% (Djumadiyadin, 2001; Chrysostomus, 2003). Kemungkinan besar karena tergolong hewan omnivora, pakan bandikut selalu tersedia dan mudah didapat di sekitarnya. Oleh karena itu kandungan gizi daging bandikut cukup tinggi mencapai 18,62%, walaupun relative rendah dibandingkan daging ayam dan sapi.
UU No 7 / 1976 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pangan yaitu makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan, hewan, ikan; baik produk primer ataupun olahan. Husain (2005) menjelaskan bahwa pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah / daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan / atau dikonsumsi. Hasil penelitian Prescott-Allen and Prescott-Allen (1982) menunjukkan bawha sedikitnya di 62 Negara, satwa liar memberikan sumbangsih sekitar 20 % sebagai sumber protein hewani masyarakat. Di daerah terpencil Di Amazon misalnya satwa menyediakan sumber kalori kepada masyarakat sekitar dan juga zat-zat nutrisi yang esensil seperti protein dan lemak. Hal yang sama juga umum ditemukan di benua Afrika (Ntiamoa-Baidu, 1997), Serawak dan Sabah (Benner et al., 2000), Northeastern Luzon, Philipina (Griffin and Griffin, 2000), Sulawesi Tengah (Alvard, 2000) dan Sulawesi Utara (Lee, 2000 dan Clayton dan Milner-Gulland, 2000).
Adanya korelasi antara satwa liar sebagai sumber protein hewani masyarakat dengan aspek ketahanan pangan masyarakat menunjukkan bahwa kontribusi daging satwa cukup signifikan. Apalagi di daerah dengan akses terhadap sumber protein hewani asal ternak sangat terbatas. Menurut Hoskins (1990) bahwa ketahanan pangan yaitu akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk setiap individu pada setiap saat dan selalu berkaitan erat dengan ketersediaan pangan tersebut. Sedangkan Suryana (2001) menjelaskan bahwa ketahanan pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu yang berkelanjutan agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif, yang jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan sosial budaya masyarakat tersebut berdomisili. Selanjutnya dijelaskan bahwa tiga faktor yang mempengaruhi ketehanan pangan menurut yaitu 1) faktor ketersediaan pangan, 2) faktor kemampuan keluarga/masyarakat dan 3) faktor kemauan masyarakat
Di Papua masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil dengan akses terhadap hasil buruan satwa yang selalu tersedia di lingkungan sekitarnya mendorong pemanfaatan daging satwa yang cukup tinggi. Hal mana mendukung usaha pengeanekaragaman pangan oleh masyarakat setempat. Kondisi ini relevan dengan pernyataan Budi (2005) usaha penganekaragaman pangan yaitu proses pemilihan pangan yang tidak tergantung pada satu jenis bahan saja, tetapi terhadap macam-macam bahan pangan mulai dari aspek produksi, pengolaan, distiribusi hingga aspek konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu nilai ekonomi hasil buruan, kemudahan dalam memperolehnya serta terbatasnya akses terhadap daging ternak domestikasi merupakan alasan utama memanfaatkan tikus tanah – bandikut sebagai bahan pangan masyarakat di daerah pedalaman Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H