Mohon tunggu...
Fredick Ginting
Fredick Ginting Mohon Tunggu... Freelance -

Belajar ilmu politik dari Harold Laswell sampai Samuel Huntington, belajar demokrasi dari Thomas Jefferson sampai Ernesto Laclau. Menonton karya David Fincher sampai Martin Scorsese, mengagumi Charlize Theron sampai Jennifer Lawrence.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Resensi The Racketeer]: Karena Hukum Tak Tegak

14 Februari 2017   11:11 Diperbarui: 14 Februari 2017   11:20 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia makhluk paling mulia, tapi bila hukum dilepaskan darinya ia menjadi makhluk paling anarkis. Tapi manusia juga bisa menjadi anarkis meski hukum masih melekat padanya, yaitu ketika hukum itu dipreteli, dipermainkan, dan tak bisa melindungi manusia itu sendiri.

Malcolm Bannister, 43 tahun, seorang bekas marinir dan pengacara berkulit hitam harus mendekam dalam penjara di Federal Prison Camp, Frostburg, Maryland. Masa tahanannya selama 10 tahun karena kejahatan yang ia sendiri tak niat melakukannya. Kini ia sudah menjalani setengah dari masa hukumannya, dan ia masih saja mengutuk hakim federal loyo dan munafik di Washington DC yang mendakwanya.

Kasus yang menimpanya merenggut hidup dan kehidupannya. Lisensi pengacaranya dicabut. Padahal ia hanya berkarir di kota Winchester, Virginia dengan populasi hanya 25 ribu orang. Ia belum tentu setiap minggu mendapat kasus. Apalagi ia seorang kulit hitam dimana sangat sulit untuk mendapatkan klien. Istri dan anaknya yang semula sangat mencintai dan dicintainya menjauh dan sudah memulai hidup baru dengan pria lain. Istrinya meminta cerai dan ia mungkin takkan melihat anaknya lagi.

Penjara memang merenggut kebebasan Malcolm. Namun, pikirannya tak ikut di penjara. Melalui pikiran ia ciptakan harapan. Seperti tulis Andy Dufresne dalam The Shawshank Redemption bahwa “harapan adalah hal yang baik, mungkin yang terbaik, dan tidak ada hal baik yang mati”. Ia merencanakan sesuatu. Sesuatu yang bergantung pada harapannya. Harapanlah hal terakhir yang membuat seseorang tetap hidup.

Berbekal pengetahuannya di bidang hukum, ia menjadi pengacara penjara di Frostburg. Ia adalah satu dari tiga pengacara yang ditahan di antara 600-an tahanan yang ada. Setiap harinya ia menghabiskan waktu beberapa jam untuk membantu sesama tahanan dengan masalah hukum mereka. Ia mempelajari perkara banding beberapa tahanan dan berusaha mengajukan mosi. Untuk kasusnya sendiri tidak ada harapan lagi: semua upaya banding ditolak, tak ada prosedur, mekanisme, celah, aturan yang bisa dimanfaatkannya untuk bebas ataupun mendapat pengurangan hukuman.

Aktivitas tersebut membawanya berteman baik dengan Quinn Rucker, seorang tahanan yang sudah kabur dari tahanan dan kini menjadi buronan. Suatu pagi Malcolm membaca di Washington Post bahwa  seorang hakim federal bernama Raymond Fawcett ditemukan tewas dibunuh bersama sekretarisnya di kabin pribadinya di Lake Higgins, barat daya Virginia. Tak ada jejak sama sekali, polisi dan FBI (Federal Bureau Investigation) tak menemukan petunjuk.

Namun, Malcolm punya. Ia mengetahui siapa pelakunya dan berniat menukar informasi dengan kebebasannya. Malcolm memakai Rule 35 dalam Federal Rules of Criminal Procedure. Ini adalah prosedur bagi tahanan untuk mendapatkan keringanan hukuman, bahkan bebas. Jika seorang tahanan bisa memecahkan suatu kejahatan, yang diminati FBI, maka hukuman si tahanan bisa dikurangi.

Tak hanya pengurangan hukuman, Malcolm juga meminta catatan penjaranya dihapuskan, berganti nama, hingga sedikit operasi plastik untuk mengubah penampilan. Ia menuntut diberikan identitas baru, pekerjaan baru, kehidupan baru dan dimasukkan ke dalam program perlindungan saksi. Pasalnya, bila Malcolm membongkar pembunuhan ini, ia akan dikejar-kejar oleh keluarga si pembunuh. Si pembunuh tahu kejahatannya hanya akan terbongkar bila Malcolm membuka mulut.

“Aku tak akan pernah menjadi orang bebas lagi. Dan selalu menengok ke belakang sepanjang sisa hidupuku,”  ujar Malcolm. FBI menyepakati, hakim kemudian menandatangi Rule 35 antara United States vs Malcolm W Bannister. Namun, persoalan belum selesai.

Quinn yang dituduh Malcolm punya bukti kuat bahwa dirinya tidak berada dalam lokasi kejadian saat Fawcett terbunuh. Sementara Malcolm mulai menjauh dari pengawasan FBI dan mulai melanjutkan rencana  yang sudah disusunnya selama 2 tahun. Apakah rencana tersebut?

Laiknya novel-novelnya yang lain, Grisham tetap berhasil mengemas sebuah plot cerita dengan sangat baik dibalut segala macam cerita soal aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat. Hebatnya lagi, di akhir novel Grisham menuliskan bahwa tidak ada yang nyata dalam novel ini: tidak ada hakim federal yang terbunuh, tidak ada penjara Frostburg. Dan Grisham tidak perlu riset menyelesaikan novel ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun