Judul: Miss Sloane | Sutradara: John Madden | Naskah: Jonathan Perera | Pemain: Jessica Chastain, Mark Strong, David Barnes, Gugu Mbatha-Raw | Rilis: 8 Desember 2016 | Durasi: 132 menit
“Career suicide is not so bad when you consider the alternative is suicide by career.”
Lobi-lobi dalam dunia politik adalah hal lumrah. Para pelaku politik adu kuat dalam mengerahkan segala sumber daya untuk memuluskan ambisi masing-masing. Sayangnya ambisi itu kerap tidak berdasarkan kepentingan umum. Melainkan ambisi untuk kepentingan korporasi yang mengatasnamakan kepentingan umum.
“Melobi adalah melihat ke depan,” ujar Elizabeth Sloane (Jessica Chastain) dalam narasi trailer film ini. “Memperkirakan pergerakan lawan dan mengatasinya. Pemenang selalu satu langkah di depan lawannya. Mengeluarkan kartu andalan setelah lawan mengeluarkan kartu andalannya. Pastikan kau mengejutkan mereka, tapi mereka tak mengejutkanmu.”
Sloane adalah pelobi terbaik di Washington DC. Ia cantik dan berbahaya. Ia adalah femme fatale versi politik. Ia punya kecerdasan untuk memanipulasi situasi dan memprediksi hal yang akan terjadi. Karena reputasinya, ia dipercaya perusahaan tempatnya bekerja Cole, Kravitz, Waterman LLP untuk membantu kliennya Bill Sandford dan mewakili Asosiasi Senjata Api Nasional (NRA) dalam memuluskan rencana pelonggaran penggunaan senjata api di Amerika.
Topik ini adalah salah satu perdebatan yang paling sensitif di Amerika. Sandford dkk merasa setiap warga berhak mempersenjatai diri sendiri sebagai bentuk perlindungan terhadap ancaman yang kapan saja mungkin terjadi. Bagi kubu Sanford, bila kepemilikan senjata dibatasi sama saja dengan mengingkari Amendemen Kedua konstitusi yang berisi tentang perlindungan diri. Untuk merebut simpati publik, dipakai slogan ‘Mothers for a Safer America’.
Sloane tidak setuju dengan gagasan itu dan memutuskan keluar. Ia membawa serta lima stafnya pindah ke firma Peterson Wyatt yang mendukung usulan Heaton-Harris. Kontra dengan Sanford, Heaton-Harris mengusulkan agar penggunaan senjata harus diperketat. Izin untuk kepemilikan senjata api tidak bisa diberikan sembarangan.
Dalam debat di televisi, Sloane menganalogikan kepemilikan senjata ibarat surat izin mengemudi. Orang dapat izin bila lolos uji teori dan praktik. Logika yang dipakai ‘semakin berbahaya alat, semakin ketat ujiannya’. Analogi Sloane lainnya: seorang koki di Jepang harus belajar selama 7 tahun sebelum menggunakan ikan Fugu yang beracun dalam masakannya.
Pasca debat pertarungan merebut suara dari Kongres semakin ketat. Disinilah, kecerdasan Sloane ia gunakan untuk mempengaruhi para senator. Sloane melakukan apa saja termasuk mengintai atau menyadap dengan memakai kecoak.
Sloane memakai cara-cara yang tak terduga, termasuk berani membahayakan hidup stafnya sendiri, Esme Manucharian (Gugu Mbatha-Raw). Bos Heaton-Harris, Rodolfo Schmidt (Mark Strong) yang sangat idealis dan etis tak habis pikir hingga bertanya, “Pernahkah kau hidup normal? Seperti apa kau ketika anak-anak?”.
Bagi Sloane, pertarungan pengaruh melawan Sanford adalah pertarungan terbesar dalam karirnya. Ia menghadapi musuh terkuat yang pernah dihadapinya. Sanford punya dana yang sangat besar dan bisa mempengaruhi bahkan mengendalikan para senator.