Judul: To Kill A Mockingbird | Penulis: Harper Lee | Penerbit: Qanita | Tahun Terbit: 2015 (edisi-4, cetakan-1) | Jumlah Halaman: 396 | Harga: Rp 98.000
Kau takkan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya, hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.
Ini novel yang oleh Guiness Book of Record dinobatkan sebagai novel terlaris sepanjang masa. Diterbitkan 55 tahun lalu pertama kali oleh si penulis, memenangkan hadiah Pulitzer pada 1961. Kemudian diadaptasi dalam sebuah film yang dibintangi Gregory Peck, kemudian meraih tiga nominasi dalam Penghargaan Oscar pada 1963. Novel ini dilabeli harus-dibaca-orang-dewasa-sebelum-meninggal dan menjadi bacaan wajib anak-anak Amerika pada masanya.
“Both the novel and the movie, is a very good classic. It’s the one of those very simple stories that can tell so much more,” ditulis dalam Anthony’s Film Review. Buku ini telah diulas ratusan kali dari puluhan bahasa dari seluruh dunia. Novel ini berlatar tahun 1930-an dimana persoalan rasial kulit putih terhadap kulit hitam begitu kentara di AS. Namun, Harper Lee menulis novel ini untuk menyampaikan sebuah pesan sederhana yang bersifat universal bagi seluruh umat di bumi: agar manusia tidak dikuasai prasangka dalam membangun perspektifnya terhadap orang lain.
Atticus Finch, kulit putih, adalah seorang pengacara di kota kecilnya bernama Maycomb, Alabama. Sebuah kota sepi dengan aktivitas yang sangat lambat. Tak ada ketergesaan karena tak ada tempat yang dituju, tak ada yang bisa dibeli, juga tak ada uang untuk membeli, dan tak ada yang perlu dilihat diluar batas kota itu. Sebuah kota tua yang kelelahan. Untuk beberapa penduduk, sebuah rasa optimistis tumbuh samar-samar: tak ada yang perlu ditakutkan selain ketakutan itu sendiri.
Atticus punya seorang putra Jem dan putri Scout. Istri Atticus sudah meninggal tatkala usia Scout 2 tahun. Di rumah, keduanya diasuh oleh seorang Afro-Amerika, Calpurnia. Harper membangun ceritanya lumayan lambat. Dari 31 bab novel ini, sepertiga diantaranya digunakan untuk mengenalkan lingkungan Maycomb dan karakteristik penduduknya. Ada keluarga Dubose yang dianggap Jem dan Scout menyeramkan, Radley yang sangat tertutup, Cunningham yang tak pernah mengambil apa pun yang tak bisa mereka kembalikan, dan Ewell yang menjadi aib di Maycomb dengan keburukannya tak pernah bekerja dengan baik.
Yang menarik cerita dibangun berdasarkan sudut pandang Scout (nama lengkapnya dalam novel ini Jean Louis Finch), saat itu berumur 6 tahun. Karakternya cerdas dan kritis. Scout dan kakaknya Jem yang lebih tua 4 tahun sebagaimana anak-anak umumnya selalu punya rasa ingin tahu yang menggebu-gebu atas apa yang dilihatnya. Sebuah sifat yang rawan sekali menyebabkan jatuh pada prasangka. Prasangka dalam diri manusia berbahaya karena biasanya itu bukan kebenaran, walaupun benar ia sangat rapuh. Disinilah peran Atticus sebagai lelaki terhormat nan bijak mampu mengarahkan kedua anaknya agar tidak tumbuh jadi manusia berprasangka.
Hanya Jem dan Scout anak-anak di Maycomb. Setiap musim panas mereka jumpa Dill Harris kemudian main bersama. Ketiganya tertarik pada sosok dibalik rumah Radley. Keluarga itu punya seorang anak bernama Arthur “Boo” Radley yang tak pernah keluar rumah. Dari bisik tetangga, Jem, Scout dan Dill mendengar hal-hal negatif tentang Radley sehingga memancing penasaran. Mereka dengan usil beberapa kali mencoba mengganggu rumah Radley. “Pikirkan urusanmu sendiri dan biarkan Radley memikirkan urusannya, itu sepenuhnya hak mereka,” nasihat Atticus.
Satu ketika Atticus menerima kasus untuk membela seorang negro yang dituduh memperkosa Mayella Violet Ewell. Keputusan Atticus membela Tom Robinson mengakibatkan seisi kota menggunjing keluarga Atticus. Tak terkecuali Scout di sekolahnya. Pasalnya prasangka yang dibangun oleh penduduk Maycomb adalah kulit hitam adalah pekerja, kotor, kriminal, jelek, dan tak berhak mendapat hal sama dengan kulit putih.
“Kasus ini menyangkut hati nurani manusia, tak ada gunanya aku pergi ke gereja dan beribadat kepada Tuhan kalau aku tidak mencoba menolong dia,” ujar Atticus kepada Scout. Sepertinya mustahil kasus ini dimenangkan oleh Atticus, karena kesaksian kulit putih akan selalu yang benar. Tapi, “Hanya karena kita telah tertindas selama ratusan tahun sebelum kita mulai melawan, bukanlah alasan bagi kita untuk berusaha menang,” ujar Atticus lagi.
Atticus meyakini bahwa ada satu hal yang menunjukkan bahwa semua manusia diciptakan sederajat—ada satu lemba kemanusiaan yang membuat seorang pengemis sederajat dengan Rockefeller, seorang bebal sederajat dengan seorang Einstein, dan seorang tak berpendidikan sederajat dengan rektor universitas mana pun. Lembaga tersebut adalah pengadilan.