Kasus penembakan yang menewaskan seorang siswa SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, menjadi perhatian nasional setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa insiden ini memenuhi unsur pelanggaran HAM. Sumber: [Kompas.com, 5 Desember 2024]
Pernyataan tersebut memicu berbagai diskusi terkait tanggung jawab negara, peran kepolisian, dan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam penegakan hukum di Indonesia. Insiden penembakan terjadi pada Minggu, 24 November 2024, ketika Aipda Robig Zaenudin, anggota kepolisian, melakukan tindakan penembakan yang merenggut nyawa Gamma dan melukai dua siswa SMK lainnya yang berinisial S dan A.
Dalam kasus ini, Kabid Propam Polda Jawa Tengah Kombes Aris Supriyono menyampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR, Selasa (3/12), bahwa Aipda Robig Zaenudin melakukan penembakan terhadap Gamma Rizkynata Oktafandy disebabkan kendaraan yang dikendarainya dipepet oleh kendaraan yang tengah berkejar-kejaran, lalu Aipda Robig Zaenudin menunggu kendaraan tersebut berbalik dan kemudian melakukan beberapa kali tembakan.
Menurut hasil penyelidikan yang dilakukan Polda Jawa Tengah, proses ekshumasi jenazah menunjukkan proyektil yang bersarang di bawah usus Gamma sebagai penyebab kematiannya. Senjata api dan proyektil tersebut telah menjadi barang bukti dan sedang diteliti lebih lanjut di Laboratorium Forensik untuk mendalami kronologi kejadian. Berdasarkan pemantauan Komnas HAM, tindakan Aipda Robig memenuhi unsur pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999. Selain itu, tindakan ini diklasifikasikan sebagai pelanggaran hak hidup, pembunuhan di luar hukum atau extra judicial killing, serta melanggar hak untuk bebas dari perlakuan kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan martabat kemanusiaan. Sumber: [Kompas.com, 5 Desember 2024]
Melihat kasus ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam situasi yang sebenarnya bisa dihindari dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Terdapat beberapa pelanggaran mendasar yang dapat disoroti dalam kasus ini, di antaranya hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks ini, aparat kepolisian secara langsung merenggut nyawa korban melalui tindakan yang seharusnya tidak terjadi jika mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekerasan. Selain itu, penerapan prinsip dari Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials dari PBB pada 1990 menekankan bahwa kekerasan hanya boleh digunakan sebagai upaya terakhir dan harus berproporsi dengan ancaman yang dihadapi. Namun, penembakan yang dilakukan dalam situasi yang tidak membahayakan menunjukkan penyimpangan terhadap prinsip ini. Lebih lanjut, pelanggaran ini juga melanggar prinsip kebebasan dari perlakuan kejam dan tidak manusiawi sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi internasional.
Lebih jauh lagi, negara memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negaranya. Ini bukan hanya berkaitan dengan mempidanakan pelaku, tetapi juga dengan melaksanakan reformasi sistem kepolisian, memperketat prosedur penggunaan senjata, serta meningkatkan pemahaman anggota kepolisian tentang pentingnya perlindungan HAM dalam menjalankan tugas. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga memiliki peran krusial dalam memberikan perlindungan kepada korban, keluarga korban, serta melakukan pemulihan psikologis bagi mereka yang terdampak insiden ini.
Kasus penembakan terhadap Gamma Rizkynata Oktafandy di jalan raya bukan hanya mengejutkan tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang kontrol penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian dan evaluasi terhadap prosedur kepolisian yang ada. Penembakan ini terjadi dalam situasi yang seharusnya bisa dihindari, tanpa kaitannya dengan aksi kriminal atau ancaman yang signifikan. Ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terkait pengendalian penggunaan senjata, pendekatan kepolisian yang lebih manusiawi, dan peningkatan transparansi dalam setiap tindakan aparat keamanan.
Kita tidak bisa hanya berfokus pada aspek hukum semata, tetapi harus melihatnya sebagai masalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kepolisian. Negara dan semua pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap tindakan kepolisian berlandaskan prosedur yang benar, proporsional, dan berorientasi pada perlindungan hak setiap warga negara.
Kematian Gamma Rizkynata Oktafandy harus menjadi pengingat bahwa setiap nyawa memiliki nilai yang sama dan harus dihargai dengan sepatutnya. Dengan melakukan reformasi, memperkuat pengawasan, serta memastikan kepolisian lebih profesional dalam menjalankan tugasnya, kita dapat mengurangi risiko insiden serupa di masa depan. Kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan institusi negara bisa dipulihkan hanya jika setiap tindakan yang dilakukan dapat mempertahankan prinsip keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kita harus bersama-sama memastikan tragedi ini tidak hanya menjadi berita semata, tetapi sebagai momentum untuk mendesak perubahan positif dalam tata kelola kepolisian dan kepemimpinan yang lebih bertanggung jawab. Ini adalah tugas kita bersama---pemerintah, masyarakat, dan kepolisian---untuk bekerja lebih keras demi menciptakan lingkungan yang aman dan berkeadilan bagi setiap individu.