Dalam diskursus hukum di Indonesia, hubungan antara hukum administrasi negara dan hukum pidana, khususnya dalam konteks tindak pidana korupsi, terus menjadi perdebatan hangat. Salah satu persoalan yang sering diangkat adalah bagaimana menyikapi penyelenggara negara yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, tetapi telah mengembalikan kerugian negara sebelum atau selama proses hukum berlangsung. Apakah pengembalian tersebut dapat menghapus tanggung jawab pidana, ataukah proses hukum tetap harus berjalan sebagai bentuk pertanggungjawaban yang lebih luas?
Dari sudut pandang hukum administrasi, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa dalam banyak kasus, kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan administrasi yang keliru sebenarnya lebih tepat diselesaikan melalui mekanisme hukum administrasi negara. Hadjon menjelaskan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara maladministrasi (pelanggaran administratif) dan korupsi, di mana maladministrasi belum tentu mengandung niat jahat atau mens rea. Dalam konteks ini, pendekatan administrasi yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan prosedural dan memulihkan kerugian negara sering kali lebih efektif daripada pendekatan pidana yang berpotensi memperburuk situasi birokrasi.
Dari sudut pandang asas hukum, asas ultimum remedium juga sering dijadikan rujukan dalam membedakan kapan hukum pidana seharusnya digunakan. Menurut asas ini, hukum pidana seharusnya menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) setelah mekanisme hukum lain---seperti hukum administrasi---telah diupayakan. Prinsip ini diakui secara luas dalam hukum pidana Indonesia dan sering kali menjadi argumen utama para ahli yang berpendapat bahwa pengembalian kerugian negara seharusnya cukup diselesaikan melalui jalur administratif, tanpa perlu melibatkan proses pidana yang panjang dan rumit.
Beberapa ahli hukum juga mendukung bahwa pengembalian kerugian negara, jika dilakukan sebelum penyidikan tuntas, dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan pertanggungjawaban pidana. Pendapat ini didasarkan pada asas keadilan restoratif (restorative justice), di mana tujuan utamanya adalah pemulihan kerugian yang telah ditimbulkan kepada negara. Pendapat ini juga seringkali digunakan oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Terdakwa atau oleh Penasihat Hukumnya untuk mengeliminir pertanggungjawaban pidana dalam persidangan kasus korupsi.
Namun, pendekatan ini kerap dikritik karena dianggap dapat menciptakan moral hazard---di mana pelaku korupsi merasa cukup "aman" selama mereka mampu mengembalikan kerugian negara.
Di sisi lain, Mochtar Kusumaatmadja, melalui teori law as a tool of social engineering (1975), menekankan bahwa hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, tetapi juga alat untuk mendorong perubahan perilaku, terutama dalam hal moralitas pejabat publik. Dalam konteks ini, hukum pidana diperlukan untuk memberikan efek jera (deterrence effect) terhadap penyelenggara negara yang menyalahgunakan jabatannya. Sebab, tanpa adanya ancaman hukuman yang tegas, pengembalian kerugian negara saja dianggap tidak cukup untuk mencegah terjadinya pengulangan tindakan serupa di masa mendatang.
Salah satu pandangan penting dalam hal ini juga datang dari ahli hukum pidana, Sudarto, yang menegaskan bahwa tindak pidana korupsi tidak hanya mengenai aspek kerugian negara, tetapi juga tentang penghancuran integritas publik dan penyalahgunaan wewenang. Dalam teori hukum pidana yang diusung oleh Sudarto, korupsi digolongkan sebagai "extra ordinary crime" yang memerlukan penanganan khusus. Pengembalian kerugian negara, menurutnya, tidak dapat menjadi alasan untuk menghentikan proses pidana karena kejahatan ini mencakup dimensi sosial dan moral yang lebih luas, termasuk meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Di Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 menjadi titik penting dalam diskusi ini, di mana Mahkamah menegaskan bahwa meskipun kerugian negara telah dikembalikan, proses pidana tetap dapat dijalankan jika ditemukan unsur kesengajaan dalam perbuatan korupsi tersebut. Hal ini memperkuat prinsip bahwa perbuatan korupsi tidak hanya dilihat dari aspek kerugian negara, tetapi juga dari niat dan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku.
Hal ini juga sesuai dengan prinsip deterrence dalam hukum pidana yang bertujuan memberikan efek jera agar pelaku lainnya tidak melakukan kejahatan serupa.
Di tengah perdebatan ini, penulis berpendapat bahwa yang menjadi fokus adalah bagaimana memadukan peran hukum administrasi negara dan hukum pidana agar dapat berfungsi secara optimal dalam menegakkan keadilan dan memberantas korupsi. Sinergi antara kedua ranah hukum ini sangat penting agar setiap penyelenggara negara yang terlibat dalam korupsi bisa diproses secara adil namun tetap efisien. Selain itu regulasi yang lebih tegas dan jelas mengenai kapan penyelenggara negara bisa dibebaskan dari tanggung jawab pidana jika telah mengembalikan kerugian negara, akan membantu memberikan kepastian hukum dan menghindari potensi penyalahgunaan aturan. Hal ini dapat dilakukan melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait, yang nantinya akan sangat membantu para penegak hukum dalam menentukan apakah suatu proses hukum diperlukan saat ditemukan adanya kerugian negara.
Pada akhirnya, pengembalian kerugian negara memang sangat diperlukan, tetapi lebih dari itu, kepercayaan publik terhadap institusi negara harus dijaga melalui penegakan hukum yang tegas dan bijaksana.