Mohon tunggu...
kristiadi franz
kristiadi franz Mohon Tunggu... -

rindu: melihat Tuhan dalam segala, melihat segala dalam Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perempuan Itu Ibumu dan Sahabatku

15 September 2010   11:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bibirnya bergetar dan matanya mulai berkaca-kaca.
Kukatakan padanya, “Urgh….aku “hanya” masuk seminari. Dan, Yogya sampai Magelang bukanlah jarak yang jauh. Kamu juga masih bisa datang setiap minggu kedua.”
“Tapi,…” protesnya.
“Sudahlah.”
Dia bukan pacarku. Hanya saja, perempuan itu, telah hadir di sisi hatiku, mengisi hari dengan tawanya yang lepas. Selama sembilan tahun. Bayangkan, selama sembilan tahun. Dia, perempuan itu, sahabatku. Sejak kuinjakkan kakiku pertama kali di atas rumput basah embun pagi sekolah dasarku, dia ada dan hadir. Menghibur ketakutanku dengan gaya lincah dan tawa ceria. Mata sipitnya, bersinar lucu.
“Arina…Kamu siapa?”
“Prast, Prasetyo.”
Tiba harinya kami harus berpisah setelah di SMP-pun kami jalani bersama. Tidak mungkin kan dia juga masuk Seminari? Dia, perempuan, ingat itu! Tapi, ternyata hubungan persahabatan kami semakin merenggang. Tahun pertama di seminari, dia masih setia berkirim surat. Begitu juga aku. Dia bercerita: tentang teman-teman barunya, tentang situasi SMU-nya yang katanya ngga seru (kamu ngga ada sih, katanya), tentang tugas-tugas sekolah yang mulai menumpuk (kali ini dia mengeluh), tentang kesendiriannya ketika harus berangkat ke sekolah (tidak ada yang menemani aku berangkat ke sekolah, keluhnya lagi). Tahun kedua, perempuan itu mulai jarang berkirim surat. Satu dua kali, masih kuterima suratnya. Dan, ceritanya adalah pembelaan atau alasan yang membenarkan mengapa ia jadi jarang berkirim surat.
“Persaingan di sekolah luar biasa ngerinya. Arina harus belajar dengan keras,” begitu tulisnya. Aku sendiri mulai sibuk dengan tugas-tugasku di seminari. Aku mulai ikut latihan biola (aku pengen seperti Idris Sardi), mulai ikut latihan Orkes Seminari yang terkenal itu, ikut IFO (ini klub olahraganya Seminari) Sepakbola, terlibat dalam kepanitiaan-kepanitiaan, belum lagi tugas sekolah dan tugas asrama yang mulai padat.
Dan, kerenggangan itu mencapai puncaknya ketika libur akhir tahun ketiga. Dia pindah ke Jakarta. Katanya, fakultas kedokteran gigi yang baik cuma ada di dua universitas. Satu universitas negeri di Yogya, satunya universitas swasta di Jakarta.
“Aku tidak lolos UMPTN. Maka, aku harus ke Jakarta. Tadinya, aku berpikir untuk ganti jurusan saja. Tapi, seluruh keluarga memaksa. Dokter gigi itu profesi yang menjanjikan, kata mereka. Sambil menangis di bus itu, aku berangkat ke Jakarta. Tinggal di rumah keluarganya papah,” katanya lagi.
Tidak ada lagi pertemuan. Tidak ada lagi kabar. Kujalani tahun keempat di seminari tanpa cerita tentang dia, perempuan itu. Kadang, aku masih mengingatnya ketika perjalanan hidupku di seminari terasa begitu membosankan, sepi, dan tak bermakna. (Setelah itu, biasanya aku terus datang ke Romo Pembimbing Rohaniku).
Lulus seminari, kuinjakkan kaki di sebuah tempat yang bernama Tahun Rohani. Aku ingin jadi imam diosesan. Pengen dekat rumah. Bukan karena, -kata orang-, boleh kaya, tentu.
Satu tahun berhasil aku lewati. Tidak dengan mulus memang. Malah, lebih sering jatuh. Perempuan itu mulai hilang dari memori otakku.
Entahlah, aku merasa mulai bangga dengan diriku sendiri. Bayangkan, akhirnya, aku bisa sampai di Seminari Tinggi. Aku dipanggil frater. Panggilan yang luar biasa bermakna bagi diriku. Aku bangga.
Tapi, ingatan ini terlanjur juga menyesatkan aku ke sosok perempuan itu (tapi, tetap aku syukuri). Hanya karena, bulan itu, bulan Mei 1998. Terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Terjadi pemerkosaan pada perempuan-perempuan Tiong Hoa. Itu semua memaksaku untuk menjatuhkan ingatan pada perempuan itu. Semoga, dia selamat.
Mulai kutekuni hari-hariku di Seminari Tinggi. Bergulat dengan diktat-diktat dan buku-buku tebal berdebu kuliah Filsafat, Kitab Suci, dan Teologi. Bercengkrama dengan komputer butut untuk membuat paper-paper. Ah, aku paling senang untuk membuat paper mengenai keadaan negara yang sedang carut marut ini: penjarahan, perampasan, pemerkosaan, dsb. Kuliah dan pendidikanku di sini mengubah diriku menjadi pribadi yang berani dan berprinsip. Mengubah diriku menjadi pribadi yang gampang tergugah semangatnya untuk membela yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir. Mengubah pribadiku menjadi pribadi yang tegas dalam mengambil keputusan. Ah, aku mulai yakin: Tuhan sungguh memanggilku untuk menjadi imam-Nya.
Dan, waktu itupun datang.
Sebuah perjumpaan. Entahlah, mungkin benar bahwa perjumpaan adalah sesuatu yang bermakna. Waktu itu, menjelang Natal, ketika Adven baru memulai langkahnya.
“Prast,...ada tamu tuh!” teriak temanku.
Wah, urusan pastoral nih, pikirku. Dengan cepat, aku bergerak ke ruang tamu. Aku ternganga. Kaget. Sekaligus tidak menyangka. Heran sekaligus terpana. Tidak menyangka tapi gembira.
“Arina......!” teriakku
Ah, perempuan itu, hadir lagi di depanku. Wajahnya cantik, semakin cantik. Tapi, sorot mata itu....ya, aku kehilangan sorot ceria dari mata yang sipit indah miliknya.
“Prast,.....” dia menangis. Canggung, kupegang tangannya.
“Tangis ini bukan tangis kebahagiaan ‘kan ? Ada apa Arin?”
Dia mencoba tegar, mencoba tersenyum. Dan, kami bercakap-cakap meski dalam suasana yang tidak enak. Ada yang dia sembunyikan, aku tahu itu.
“Prast, aku sudah di Yogya lagi.”
Kata itu menutup pembicaraan kami sore itu. Seminggu setelah pertemuan itu, kucoba untuk menelponnya.
“Hallo” suara perempuan tapi bukan Arin.
“Hallo, bisa bicara dengan Arina?”
“dari sapa ya?”
“saya, Prast, temannya.”
“Prast, yang frater itu. Ah syukur sekali. Ini mamahnya Arina. Arina sudah cerita tentang dirinya?”
“cerita apa ya...tante?”
Suasana hening sesaat. Aku tahu dia sedang berpikir apakah akan menceritakannya atau tidak.
“Arina hamil.”
Buru-buru kututup telpon itu. Bukan karena aku tidak suka tapi karena aku ingin mendengar sendiri dari mulut Arina. Mengapa kehamilan Arina menjadi kesedihan bagi mamahnya dan bagi dirinya sendiri? Pertanyaan itu terjawab setelah aku datang ke rumahnya. Sekali lagi, bukan dari mulut Arina cerita itu terdengar. Tapi, itu sudah cukup untuk menggores hati yang terdalam. Arina diperkosa bergiliran oleh beberapa lelaki ketika Mei kelabu itu. Dan, sekarang dia hamil. Sudah enam bulan.
“Tapi, sekarang Arina ada di mana, tante?”
“Dia di rumah sakit. Sore itu, setelah Arina bertemu denganmu, Arina melakukan percobaan bunuh diri..”
Mulai saat itulah, hari-hariku dipenuhi pendampingan bagi Arina. Ini tidak mudah bagi Arina. Mengandung seorang anak dari iblis yang memperkosanya. Mending kalau iblis itu jelas, ini tidak jelas. Arina tidak ingin ia lahir tanpa ayah. Tapi, dia juga frustasi. Pemerkosaan itu begitu membekas, melukai lubuk hatinya. Dia, perempuan itu, tidak ingin bayi dalam kandungannya mati. Dia, perempuan itu, juga tak ingin menanggung malu bahwa anaknya hadir karena hasil tindakan seorang iblis. Tuhanku, aku mulai sering meninggalkan seminariku, meninggalkan komunitasku. Hari-hari selama masa Adven itu, kuhabiskan untuk menunggui Arina, memberi semangat pada Arina. Mau tak mau, aku mulai dihadapkan pada dua pilihan: bersama Arina atau tetap di seminari. Aku harus memilih, tidak bisa tidak.

*********

Waktupun berlalu. Sudah enam tahun sejak Adven itu. Adven tahun ini kembali mengingatkanku akan keputusan yang telah aku ambil. Mungkin, ada banyak orang yang mengatakan aku gagal. Tapi, bagiku tidak. Seminari telah mendidik aku untuk dapat mengambil keputusan secara bijaksana. Dan, memang telah kupilih jalan itu: bersama Arina, aku menanti datangnya bayi itu, hidup dan bukan mati.
“Pah, ayo katanya mau ngantar ke sekolah.”
Ah, anakku. Kaugugah aku dari lamunan. Lihatlah, ibu cantikmu telah menyediakan bekal bagimu. Aku berharap engkaupun bisa seperti dia. Kebaikannya luar biasa karena sudi menanti kehadiranmu dan bukan membunuhmu ketika dirimu sedang meringkuk dalam ketidakberdayaan di rahimnya. Dia, perempuan itu, ibumu, sahabatku sampai mati.

catatan:

seminari: tempat pembinaan calom imam (pastor Katolik). seminari menengah menunjuk pada sekolah setingkat SMA dengan mata pelajaran sesuai mapel SMA biasa dan tambahan dari mapel dasar seorang calon imam (seperti bahasa Latin, Kitab Suci). Sekolah ini berasrama. Seminari Tinggi menunjuk pada pembinaan calon imam setingkat perguruan tinggi. fakultas yang diambil adalah fakultas teologi. Berasrama juga.

urusan pastoral: menunjuk pada latihan pelayanan kepada umat.

Tahun Rohani: adalah jenjang antara seminari menengah dan seminari tinggi. Proses pembinaan selama satu tahun dengan kekhususan mengolah dasar-dasar kerohanian dan spiritualitas.

Imam diosesan: imam projo (pastor yang berkarya di suatu teritori tertentu). bedakan dengan imam konggregasi atau biarawan.

frater: calon imam yang sudah dan masih berada di seminari tinggi.

(cerpen ini pernah kukirimkan dan dimuat di majalah HIDUP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun