Mohon tunggu...
Oyong Liza Piliang
Oyong Liza Piliang Mohon Tunggu... -

Praktisi Media

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Modal-modal Pemimpin Sebelum Berlaga di Pilkada

18 Februari 2018   20:50 Diperbarui: 18 Februari 2018   20:54 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~Perang  gagasan, adu program atau diskusi dua arah yang selayaknya terjadi  antara kandidat dan calon pemilih berubah jadi ronggengan, raun-raun dan  makan-makan.

~Modal ekonomi dapat menjadi prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang mencalonkannya.

~Pemberian  dukungan kepada kandidat tentunya merupakan hasil lobby elit politik  dengan melihat elektabilitas serta isi kantong tas kandidat.

Pemilihan  langsung oleh rakyat telah banyak melahirkan pemimpin-pemimpin hebat.  Benar-benar bisa diandalkan dan membangun sesuai keinginan rakyatnya. Pemimpin lahir dari selera rakyat itu sendiri. Pemilihan langsung juga  mengedukasi masyarakat semakin kritis dari waktu ke waktu.

Pemilihan  langsung---meski banyak meninggalkan persoalan---memungkinkan siapun  untuk menjadi pemimpin. Dengan modal popularitas, tidak jarang berakhir menduduki kursi bupati, walikota bahkan gubernur/wakil gubernur.  Popularitas merupakan modal awal bagi para kandidat untuk maju dalam  kontestasi pemilihan langsung.

Nurdin Abdullah, Bupati Kabupaten  Bantaeng, Sulawesi Selatan, salah satu contoh sukses pilihan rakyat yang  membawa perubahan besar, sama sekali bukan karena pencitraan. Ia  menjabat sejak periode 2008-2013 dan 2013-2018. Telah banyak penghargaan  skala nasional yang diraihnya selama menjabat.

Nurdin dikenal  sebagai sosok pemimpin rendah hati dan dekat dengan rakyat. Setiap warga  Bantaeng dapat menemui Nurdin tanpa melalui aturan protokoler yang  rumit baik itu di rumah pribadinya atau pun di rumah dinasnya. Warga  dapat menyampaikan ide, gagasan atau keluh kesah secara bebas terkait  permasalahan yang ada. Warga Bantaeng tidak sulit menemui bupatinya.

Sebelum  berkecimpung di dunia poltik, Nurdin dikenal sebagai seorang akademisi  yang pernah menempati beberapa jabatan struktural di universitas maupun  di sebuah perusahaan. Profesor Nurdin pernah menjadi Guru Besar Fakultas  Kehutanan di Universitas Hasanudin. Karir Nurdin Abdullah baik itu di  bidang pendidikan, bisnis atau pun pemerintahan dinilai cemerlang. Oleh  karena itu tak heran jika Nurdin hingga kini mengoleksi sekitar 54  penghargaan dari berbagai macam bidang.

Sebagai bupati yang  menguasai ilmu pertanian, Nurdin selalu punya terbosoan atau pun ide di  bidang pertanian dalam rangka mengembangkan potensi pertanian di wilayah  Bantaeng. Ia pernah mencetuskan Bantaeng sebagai Kabupatan Benih  berbasis teknologi. Ia pun sempat merevitalisasi kelompok tani di  Kabupaten Bantaeng dengan mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah  Tangga kelompok tani berbadan hukum.

Melalui  kebijakan-kebijakannya, Nurdin tak hanya fokus pada bidang pertanian  saja tapi ia menaruh perhatian yang sama pada sektor peternakan di  Kabupaten Bantaeng. Melalui teknologi Inseminasi Buatan, Nurdin  mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki kualitas ternak sapi.

Selain  itu, ia pun mendukung penuh pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas  yang dapat digunakan sebagai energi alternatif di desa-desa Kabupaten  Bantaeng. Sebelum dirinya menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Bantaeng  termasuk 199 daerah tertinggal di Indonesia. Tiap tahun dilanda banjir,  infrastruktur dan layanan kesehatannya pun dinilai sangat buruk,  pertumbuhan ekonominya pun saat itu hanya 4,7 persen saja.

Namun  dengan kemampuan yang dimilikinya, daerah yang memiliki luas 395,83 km2  itu berhasil diubah dan ditingkatkan perekonomiannya. Nurdin mensiasati  APBD sebesar Rp821 miliar dengan menggalang sumber lain. Selama 8 tahun  ia bekerja keras untuk memacu pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bantaeng dan  hasilnya memang mengalami pertumbuhan dari 4,7 persen menjadi 9,2  persen, dan kini Bantaeng menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi  di Sulawesi Selatan.

Di samping itu, sejak Nurdin menjabat  sebagai Bupati Bantaeng, perubahan dalam bidang pelayanan kesehatan pun  sangat terasa. Ia menciptakan layanan kesehatan 'mobile ambulans' yang  beroperasi selama 24 jam. Nurdin memodifikasi mobil Nissan Elgrand yang  merupakan hibah dari pemerintah Jepang untuk dijadikan ambulans.

Prestasi  itu bahkan terdengar sampai ke luar negeri: Amerika Serikat. Konsul  Jenderal Amerika Serikat Joaquin Monserrate terbang ke Bantaeng pada  akhir 2014 lalu untuk melihat langsung pertumbuhan ekonomi dan layanan  kesehatan ala Nurdin.

Prestasi Nurdin Abdullah berbanding  terbalik dengan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan bernama Ahmad Wazir  Noviadi. Meski sama-sama pilihan rakyat, kepala daerah ini bukannya  membawa prestasi membanggakan bagi daerahnya.

Novi ditangkap BNN  pada 13 Maret 2016, sejurus kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus  narkoba. Ia ditangkap melalui operasi BNN kediaman orangtuanya di Ogan  Ilir, Sumatera Selatan. Ironisnya, Novi saat ditangkap, belum genap  sebulan menjabat bupati, pilihan rakyat.

Pria kelahiran Palembang  22 November 1988 itu, padahal merupakan salah satu kepala daerah  termuda Indonesia. Ia sangat populer di Sumatera Selatan dan  digadang-gadang calon pemimpin besar nasional di masa depan.

Dua  contoh di atas merupakan pengejewantahan pilihan rakyat tidak selalu  salah dan tidak selalu benar. Namun dari dua contoh tersebut akan  mengedukasi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menentukan  pilihannya.

Kota Pariaman yang sudah memasuki tahapan pilkada  sejak September 2017 lalu, akan memilih pemimpin dalam kotak suara pada  tanggal 27 Juni 2018 mendatang. Dalam bilik suara yang kecil itu, masa  depan Pariaman berada. Pilihan-pilihan sudah tersedia dengan banyaknya  nama calon yang mulai mengapung. Beragam latar belakang pula. Dari  politisi, birokrat, pengusaha hingga orang yang memiliki keahlian  khusus.

Pemilihan langsung oleh rakyat, memang memaksa para calon  itu turun ke bawah guna mendulang simpati. Para calon yang sedang  bermurah hati itu, rupanya ada pula dimanfaatkan oleh oknum masyarakat.  Sumbangan demi sumbangan untuk acara ini itu---yang sebelumnya tidak  pernah ada---marak kelihatan. Dalam kesempatan itu pula bahkan terlontar  janji-janji politik oleh para calon yang kadang tidak masuk akal.

Perang  gagasan, adu program atau diskusi dua arah yang selayaknya terjadi  antara kandidat dan calon pemilih berubah jadi ronggengan, raun-raun dan  makan-makan. Tidak ada nilai edukasi di sana. Esensi dari pertemuan  menjadi buyar tanpa makna.

Lahirnya Pemimpin Besar

Di  awal tahun 1980, Anas Malik diminta untuk pulang kampung oleh tokoh  masyarakat Padangpariaman, Sumatera Barat yang peduli kampung halamannya. Masa itu para tokoh  masyarakat memohon sangat agar Anas Malik yang saat itu menjabat sebagai  Kepala Dinas Penerangan Kodam V/Jakarta Raya dengan pangkat Letnan Kolonel.

Luluh oleh bujukan tulus tokoh masyarakat, Anas Malik  masih belum mengambil keputusan sebelum mendapat restu dari ayahnya.  Atas dorongan sang ayah, Anas Malik meninggalkan kariernya di ABRI  Angkatan Darat. Ia dipilih oleh DPRD sebagai perwakilan rakyat, jauh  sebelum Undang-Undang Otonomi Daerah lahir.

Selama 10 tahun  memimpin kabupaten Padangpariaman--yang masa itu Kota Pariaman dan  Kabupaten Mentawai merupakan kecamatan di Padangpariaman---banyak sekali  perubahan ia lakukan. Sekolah-sekolah tinggi dan kejuruan dibangun.  Revitalisasi pasar, gerakan K3, pembukaan jalan-jalan arteri hingga ke  pelosok dusun dan banyak lainnya yang kelak menjadikan ia sosok legenda.

Usai menjabat selama dua periode itu, tak lama berselang, ia berpulang. Tak  ada harta benda ia tinggalkan. Ia kembali menempati rumah dinas tentara  di Jakarta.

Setiap jelang Pilkada Pariaman dan Pilkada  Padangpariaman, nama Anas Malik bak bangkit dari kubur sebagai bahan  perbandingan oleh masyarakat bagi setiap calon. Hal itu menandakan ranah  Piaman pernah punya pemimpin besar kaliber nasional semacam Bupati  Bantaeng yang hingga saat ini masih menjabat.

Kota Pariaman sejak  memisahkan diri dari ibunya kabupaten Padangpariaman pada tahun 2002,  memang jauh benar perubahannya. Jalan-jalan beraspal mulus, gedung perkantoran berdiri megah, sekolah-sekolah dari SD hingga SLTA gratis,  berobat gratis dan beragam kemudahan bagi masyarakat lainnya.

Kota  Pariaman yang dulunya hanya ramai dikunjungi sekali se tahun karena  Pesta Budaya Tabuiknya, saat ini nyaris selalu ramai tiap harinya.  Destinasi pengindah mata bermunculan. Pantai-pantai yang dulunya tempat  buang hajat bertransformasi menjadi kawasan wisata ternama--setidaknya  untuk wilayah Sumatera Barat.

Orang Pariaman banyak pula  mendirikan kedai wisata, usaha kreatif mulai bangkit,  komunitas-komunitas seni bermunculan. Kabar-kabar itu dibaca orang  rantau dengan bangganya.

Kini, Pariaman akan beganti nahkoda.  Jabatan Mukhlis Rahman yang dibatasi hingga dua periode sebagai  walikota, harus menyerahkan tampuk kekuasaan kepada rakyat si pemegang  mandat yang akan memilih pemimpin baru sesuka hatinya, sebebas-bebasnya.  Ia yang dipilih oleh rakyat akan kembali kepada rakyat bulan Oktober  2018 mendatang. Kini, kursi yang ditinggalkan Mukhlis banyak diincar.

Nama-nama--tanpa  menyebut nama--sudah banyak wara-wiri di muka publik. Dari yang  diunggulkan hingga kelas 'ayam sayur' dengan percaya diri menyambangi masyarakat hingga ke teras-teras rumahnya.

Modal Kandidat

Pemilihan  langsung membutuhkan modal tidak sedikit. Banyak komponen yang mesti  digabungkan sebagai mesin pemenang. Semuanya perlu bahan bakar bernama  duit. Di samping memiliki kendaraan politik--yang tentu saja butuh  biaya--para calon tentunya akan membentuk barisan tim sukses. Tim sukses  tidak akan bergerak tanpa uang.

Menurut Ilham S, Konseptor  Popularitas dan Elektabilitas Politik Sumatera Utara, para kandidat  mesti memiliki tiga modal sebelum maju dalam kontestasi pilkada langsung.

1. Modal Politik (Political Capital)

Modal  politik sebagai aktivitas untuk mencapai kekuasaan dan sumber daya  untuk merealisasikan hal-hal yang dapat mewujudkan kepentingan meraih  kekuasaan. Intinya, modal politik adalah kekuasaan yang dimiliki  seseorang, yang kemudian bisa dikontribusikan terhadap keberhasilan  kontestasinya dalam proses politik seperti pemilihan umum.

Modal  politik berupa dukungan dari partai politik dan para elit politik,  organisasi kemasyarakatan dan jaringan primordial. Dalam konteks politik  Pariaman, para elit adalah mereka yang memiliki jabatan strategis di  pemerintahan, partai politik, organisasi kepemudaan, tokoh agama  berdengar yang memiliki pengaruh besar terhadap kelompok masyarakat.

Di  samping itu, kandidat juga harus memiliki kapasitas pribadi yang  berkualitas, seperti kedudukan sosial, jabatan politik dan struktural,  hingga posisi strategis dalam masyarakat primordial.

Dukungan  oleh para elit politik sejatinya akan diberikan kepada calon kepala  daerah yang memiliki cukup syarat seperti ketokohan, kompetensi,  popularitas, kapabilitas dan integritas, termasuk moralitas yang akan  menjadi opini publik.

Pemberian dukungan kepada kandidat  tentunya merupakan hasil lobby elit politik dengan melihat elektabilitas  serta isi kantong tas kandidat yang akan diusung untuk dijagokan  sebagai kentestan pilkada karena tidak ada makan siang "gratis".

Jika  kandidat tidak mendapatkan dukungan dari elit partai politik, kandidat  bisa mengajukan diri untuk maju sebagai kandidat independen yang tidak  perlu didukung oleh parpol, namun harus memenuhi syarat administrasif  dengan mengumpulkan KTP sebagai bentuk dukungan dari masyarakat.

2. Modal Sosial (Social Capital)

Modal  sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki seseorang  berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus  menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik. Modal  sosial sebagai sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain, baik  ekonomi, budaya, maupun bentuk-bentuk lainnya.

Modal sosial yaitu  dukungan terhadap figur/kandidat karena ketokohan sehingga adanya  kepercayaan (trust) dari masyarakat. Modal sosial menciptakan interaksi  sosial dan adanya jaringan-jaringan yang mendukung. Modal sosial yang  dimiliki calon bisa dicermati seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan  awal, ketokohannya di dalam kelompok masyarakat akan membangun relasi  dan kepercayaan dari masyarakat. Ingat, kekuasaan juga bisa diperoleh  karena kepercayaan.

3. Modal Ekonomi (Ekonomical Capital)

Dalam  konteks pilkada, modal ekonomi memiliki peran penting sebagai  "penggerak" dan "pelumas" mesin politik yang dipakai. Saat musim  kampanye misalnya membutuhkan uang yang besar untuk membiayai berbagai  kebutuhan seperti mencetak spanduk, membayar iklan, konsultan politik  dan berbagai kebutuhan lainnya. Bahkan modal ekonomi dapat menjadi  prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai yang  mencalonkannya.

Modal politik dan ekonomi saling berkaitan dalam  iklim politik yang menekankan kepada interaksi spontan antara pemilih  dan calon. Waktu yang pendek dalam sosialisasi diri selaku calon, kadang  mendorong penggunaan modal ekonomi sebagai jalur pintas. Kondisi ini  banyak terjadi di negara kita yang masih dalam proses transisi menuju  pemilu rasional dan penciptaan pemilih rasional. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun