Â
Pendahuluan
Beberapa waktu lalu, masyarakat Toraja, terutama di wilayah perkotaan seperti Rantepao (Ibukota Toraja Utara) heboh dengan fenomena ‘Predator’ (singkatan: Preman Dari Toraja). Jika mendengar namanya, apalagi kalau melihat predikat ‘preman’, tentunya imajinasi kita langsung berkonotasi negatif: berandalan, urak-urakan, suka berkelahi, pecandu narkoba, dan berbagai predikat lainnya. Konotasi negatif tersebut tidak sepenuhnya salah (sekalipun tidak sepenuhnya benar). Kelompok Predator tersebut mulai heboh ketika beredar video perkelahian di antara mereka. Bedanya dengan kelompok ‘preman’ sebagaimana lazimnya, kelompok ini adalah geng anak sekolahan, utamanya tingkat SLTA, dan anggotanya semua adalah perempuan (siswi). Selain sering tawuran, banyak desas-desus lain yang beredar tentang mereka; misalnya mereka dianggap sebagai kelompok pecandu narkoba yang diperalat oleh jaringan pengedar obat-obatan terlarang, kecanduan seks, suka membolos dan menyebar dengan cepat dan senyap di berbagai sekolah.
Saking fenomenalnya, kita dapat menjumpai pembicaraan-pembicaraan tentang Predator tersebut dimana saja: di pasar, di angkot, di acara-acara, di rumah; pokoknya dimana saja orang berbincang sekaligus gelisah karenanya. Kegelisahan tersebut melanda masyarakat Toraja dalam berbagai bentuk: para orang-tua selalu kuatir jangan sampai anak-anaknya juga sudah ikut-ikutan ke dalam kelompok tersebut, para guru di sekolah-sekolah selalu waspada dan meningkatkan pengawasan terhadap para murid, dan dalam skala yang lebih besar, Predator dianggap sebagai anomali masyarakat Toraja. Anomali alias tidak wajar karena orang Toraja dikenal sangat menjunjung tinggi tata-krama berbasis adat/tradisi. Fenomena Predator tersebut seakan meruntuhkan tatanan moralitas ortodoks.
Banyak orang beranggapan bahwa generasi muda sudah sangat berubah, tidak lagi mengindahkan atau tertarik dengan kearifan-kearifan lokal. Mereka sudah terlalu modern! Toraja yang dulu tidak lagi sama dengan Toraja yang sekarang. Kota Rantepao, misalnya, dalam pengamatan saya berada dalam ritme perubahan sosial dan budaya yang cukup cepat. Ada banyak faktor penyebab perubahannya, misalnya turisme, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, gelombang perantauan, dan lain sebagainya. Yang menjadi fokus saya dalam tulisan ini adalah generasi muda, khususnya kebutuhan para pelajar. Banyak institusi pendidikan berdiri, terutama sekolah dan kampus. Beberapa di antaranya masuk dalam taraf berkualitas. Institusi-institusi pendidikan tersebut membuat banyak siswa(i) dan mahasiswa(i) berdatangan, baik dari daerah pedalaman Toraja maupun dari luar Toraja. Orang-orang yang datang dari luar kota kebanyakan tinggal di kos-kosan sehingga mereka bebas untuk mengatur dirinya sendiri. Mereka inilah sasaran utama perekrutan keanggotaan Predator.
Generasi Muda dan Ruang Publik Kota Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal di Tengah Modernitas
Kasus tersebut di atas merupakan pengantar untuk memahami mengapa ruang publik sangat penting bagi generasi muda. Menurut saya, fenomena Predator adalah salah satu contoh dari situasi tidak adanya ruang alternatif yang memadai bagi generasi muda di luar sekolah untuk mengaktualisasikan diri mereka secara sosial. Pada masa ini adalah masa dimana mereka tidak ingin tersisih karena kurang gaul dan tidak mengikuti trend. Juga merupakan masa eksplorasi diri, sehingga mereka seharusnya didampingi untuk mengenali dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Mereka tidak hanya membutuhkan pengetahuan kognitif (belajar ilmu pengetahuan), tetapi juga pengetahuan sosial dan psikologis. Semua itu bisa ditata dalam sebuah konsep perkotaan, salah satunya dengan menyediakan ruang publik yang memadai bagi mereka.
Dalam tata kota Rantepao, sebenarnya sudah ada ruang publik di tengah kota. Orang biasa menyebutnya sebagai Art Centrre, tetapi sesungguhnya Art Centre adalah nama salah satu gedung utama di kompleks tersebut. Terdapat empat bangunan penting yang mengitari sebuah area lapang yang cukup luas di kompleks tersebut. Di sebelah selatan terdapat museum, di samping kanan museum terdapat patung Pahlawan Nasional Pong Tiku, tokoh perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Di sebelah barat ada Art Centre, di utara ada perpustakaan daerah sementara di timur terdapat pertokoan. Museum dan perpustakaan daerah yang letaknya berhadap-hadapan tersebut di bangun dengan arsitektur yang menyerupai Tongkonan (rumah adat Toraja). Di sisi luar, pasar tradisional mengitari kompleks.
[caption caption="Ruang Publik Kota Rantepao: Museum, Art Centre dan Perpustakaan. "]Konsep ruang publik ini, secara fisik sangat mengesankan bagi saya. Kita bisa membayangkan berbagai unsur semestinya menyatu di dalam ruang publik kota Rantepao tersebut. Bentuk rumah adat Toraja dapat menjadi penyeimbang menjamurnya bangunan-bangunan modern di sekitarnya, sekaligus dapat menjadi ‘objek pengetahuan’ tentang nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Toraja. Sederhananya, Tongkonan adalah rumah adat orang Toraja. Tetapi makna dan fungsinya jauh lebih kompleks dari bentuknya yang khas. Saya rasa, tidak cukup ruang di sini untuk menjelaskan secara detail, tetapi secara garis besar dapat dikatakan bahwa Tongkonan merupakan pusat dari tali kekerabatan sebuah rumpun keluarga, penanda struktur sosial dalam masyarakat, pusat ritual-ritual, pusat pengetahuan tentang budaya Toraja (adat, tata-krama, sejarah rumpun keluarga), pusat ekonomi dimana Tongkonan selalu disertai dengan kepemilikan lahan pertanian (utamanya padi) dan ternak, dan lain sebagainya. Karenanya, Tongkonan menjadi ruang yang mereproduksi pengetahuan sosial dan budaya orang Toraja dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya (turun temurun).
[caption caption="Tongkonan sebagai ruang sosial orang Toraja. Gambar ini saya ambil ketika mengikuti sebuah ritual pemakaman di salah satu Tongkonan (rumah adat) di Toraja pada tahun 2014"]
Tetapi saya agak kecewaa, karena ketika masuk museum, saya hanya menjumpai beberapa lukisan, ukiran dan mummi. Tidak ada tutorial yang komprehensif dan mendalam dari berbagai pajangan museum tersebut tentang sejarah, budaya dan kearifan lokal di Toraja. Begitu juga ketika memasuki perpustakaan, salah satu fungsi Tongkonan (rumah adat) sebagai medium transfer pengetahuan tidak begitu terpenuhi karena terbatasnya buku-buku yang tersedia. Kebanyakan buku-buku di dalam perpustakaan adalah buku-buku pelajaran yang umum di sekolah dan bisa didapatkan dengan mudah di luar perpustakaan tersebut. Padahal harapan saya, dan sekaligus kiranya dapat menjadi rekomendasi, melalui perpustakaan tersebut para pengunjung dapat mengenal dunia secara lebih luas melalui karya-karya sastra, filsafat, antropologi, sosiologi, dan lain sebagainya. Singkatnya, literatur yang membangkitkan pengetahuan dan kepekaan sosial. Demikian juga dengan bangunan Art Centre yang cukup luas dan memadai untuk segala macam kegiatan seni. Sayangnya, pemerintah hanya membangun tempat, tetapi belum ada upaya yang serius untuk menstimulus bangkitnya gerakan berkesenian yang melibatkan generasi muda di kota tersebut.
Area lapang yang berada di tengah-tengah kompleks tersebut fungsinya juga samar-samar bagi generasi muda. Pernah saya bertemu dengan beberapa skater yang bermain skateboard di sebuah bangunan sederhana. Ketika saya tanya, kenapa tidak main di depan Art Centre (maksudnya kompleks ruang publik kota Rantepao), mereka mengaku pernah rutin bermain di sana, tetapi ‘diusir’ oleh pemerintah karena dianggap merusak lantai, bahkan dicap sebagai kelompok ‘anak-nakal’. Demikian juga berbagai aktivitas ‘tidak-resmi’ sejenis yang dilakukan oleh para remaja dan pemuda selalu dipersulit untuk menggunakan fasilitas umum tersebut dengan berbagai tuduhan negatif. Akibatnya, ruang publik tersebut hanya menjadi tempat nongkrong semata.
Betapa ruginya tempat ini, begitu saya selalu membatin. Kalau masyarakat Toraja resah dengan fenomena Predator, dan kalau Pemerintah Daerah Kabupaten Toraja Utara serius untuk memperhatikan generasi muda, terutama para pelajar di Rantepao, bukankah ruang publik kota Rantepao tersebut dapat dimaksimalkan untuk menjawab kebutuhan sosial dan psikologis generasi muda? Sekaligus juga dapat menjadi salah satu medium untuk memperkenalkan kearifan lokal di tengah efek negatif modernitas yang terus melanda generasi muda kita. Saya percaya, jika ada sinergi yang baik di antara pihak-pihak yang berkepentingan (misalnya Pemda dan sekolah-sekolah), ruang publik kota Rantepao tersebut tidak sekedar hadir secara fisik, tetapi juga memberi nilai yang bermanfaat utamanya bagi para pelajar dan generasi muda. Jika kecenderungan aktualisasi diri begitu kuat dalam usia anak sekolahan, tidakkah sebaiknya mereka diberikan ruang publik untuk beraktualisasi dan berinteraksi? Coba kita bayangkan jika ruang publik kota Rantepao tersebut dikelola dengan baik, maka yang terjadi adalah aktualisasi dan interaksi dengan melibatkan unsur-unsur yang penting dalam pengembangan mental generasi muda: seni, wawasan / pengetahuan dan kearifan lokal. Demikian pula jika dorongan mengikuti trend begitu kuat dalam diri mereka, bukankah ruang publik yang inovatif justeru dapat menciptakan trend positif untuk diikuti?