Mohon tunggu...
Fransis No Awe
Fransis No Awe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resistensi Sastra Pascakolonial terhadap Misi-Zending

24 Mei 2017   10:13 Diperbarui: 24 Mei 2017   10:30 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kajian poskolonial mempelajari dampak kolonialisme terhadap budaya, masyarakat dan bangsa bekas jajahan. Kolonialisme yang dimaksud merujuk pada kolonialisme Eropa sejak abad ke-16 hingga kolonialisme pada masa kini yang disebut neokolonialisme (neocolonialism). Kajian poskolonial mendorong masyarakat bekas koloni untuk membaca ulang sejarah, budaya atau identitas karena telah dipengaruhi oleh wacana dan kepentingan kolonial.

Kebangkitan studi ini dimulai ketika Edward Said menerbitkan karyanya Orientalismpada tahun 1978. Dalam Orientalism, Said mengeritik bahwa the orient (timur) merupakan produk pengetahuan dan defenisi orang Eropa. Sedangkan kaum orientalis adalah orang Eropa (barat) yang mempelajari Timur dan merumuskan timur seturut cara pandang barat. Para orientalis yang melakukan studi tentang timur ini tidak dilandasi oleh hasrat pengetahuan tetapi lebih pada hasrat kekuasaan. Karena timur dilihat sebagai kelompok masyarakat yang irasional, malas, primitif, tidak berbudaya, liar dan berbagai sterotipe lainnya. Studi poskolonial pada akhirnya melahirkan kesadaran dari masyarakat bekas koloni, kemudian muncul resistensi terhadap wacana maupun praktek kolonialisme. Salah satu contoh resistensi adalah karya sastra. Karya sastra genre ini disebut sebagai sastra pascakolonial.

Katrin Bandel (2013) mengklasifikasi dua pengertian sastra pascakolonial. Pertama, dalam arti luas sastra pascakolonial dipahami sebagai sastra yang ditulis oleh pengarang negara pascakolonial yaitu negara yang pernah dijajah oleh bangsa Eropa. Kedua, dalam arti sempit sastra pascakolonial sebagai sastra yang mencerminkan kesadaran pascakolonial dan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan global. Dalam artian seorang sastrawan menyadari situasi dan kondisi yang diakibatkan oleh kolonialisme. Disamping itu juga harus memiliki semangat perlawanan terhadap (neo) kolonialisme dan bukan menjadi comprador (kaum elit di daerah jajahan) yang diuntungkan oleh (neo) kolonialisme. Karya sastra yang tulis dengan kesadaran pascakolonial akan jauh lebih menarik karena muncul suara-suara resistensi terhadap kolonialisme. Salah satu karya sastra pascakolonial adalah novel Things Fall Apart(1959) karya Cinua Achebe menggambarkan resistensi terhadap kolonialisme.

Novel ini berkisah tentang Okonkwo (tokoh utama). Ia mempunyai ambisi besar menjadi penguasa klan. Dia  dikenal dalam sukunya sebagai pria yang berani dan kuat. Ia beberapa kali memimpin perang dan berhasil mengalahkan musuh-musuh sukunya. Okonkwo semakin dipuja ketika suatu hari ia mengalahkan seorang penggulat tangguh yang belum pernah dikalahkan. Berkat kekuatan dan keberaniannya, Okonkwo mendapat gelar kebesaran dalam klan. Gelar ini menjadi simbol penguasa klan.  Okonkwo juga seorang yang taat pada tradisi. Ia mendidik anak-anaknya menghormati tradisi sukunya. Juga mengajari anaknya untuk bekerja keras di ladang agar memiliki jiwa sebagai pria sejati dan jiwa kepahlawanan.

Pada suatu kesempatan, Okonkwo tidak sengaja membunuh seorang anak dari klannya sendiri. Berdasarkan  aturan suku, ia harus diusir dan berada diluar klan selama tujuh tahun. Okonkwo tinggal di kampung ibunya. Ketika berada di kampung ibunya, Okonkwo mendengar bahwa para misionaris Inggris telah masuk ke kampungnya dan mengganggu tata tradisi klannya. Ketika Okonkwo kembali ke klannya, semua sudah berubah. Salah seorang anak laki-lakinya, Nwoye  telah dibaptis menjadi anggota agama Kristen dan berubah nama menjadi Isaac. Anggota klan sudah tidak peduli dengan ritual adat, tradisi dan mitos-mitos angker di sukunya. Karena para misionaris membangun tempat tinggal, gereja dan perkebunaan di tempat-tempat angker tetapi tidak terbunuh oleh setan atau penunggu tempat itu. Melihat hal itu, masyarakat percaya akan kesaktian para misionaris. Okonkwo geram dan marah. Ia kemudian memimpin pemberontakan melawan para misionaris. Tetapi masyarakat klannya sudah terpecah belah. Dalam pemberontakan itu, Okonkwo membunuh seorang misionaris. Kemudian Okonkwo juga mati terbunuh.

Cinua Achebe menyadari bahwa misi yang membawa serta semangat kolonialisme telah memberangus budaya, mitos dan tradisi lokal masyarakat Afrika. Padahal mitos dan cerita-cerita angker atau setan dalam masyarakat lokal memiliki fungsi menjaga kelestarian lingkungan. Adanya cerita mitos penunggu hutan atau pohon dimaksudkan agar masyarakat jangan merusak alam dan hutan. Di sisi lain penggambaran masyarakat lokal oleh Achebe tidak berbias seperti yang dideskripsikan para penulis barat. Achebe mengeritik pula gereja  yang kerapkali mewartakan injil atau misi sembari menggerus kekayaan alam dan mengusai tanah-tanah masyarakat lokal.

Menurut saya, karya-karya sastra model ini perlu dikembangkan. Selain mengkritisi dominasi maupun dampak kolonial terhadap masyarakat bekas jajahan, disisi lain untuk menyeimbangkan gerak misi dan zending yang cenderung mengkontekstualisasikan teologi ke dalam budaya, tradisi dan mitos-mitos lokal. Salam sastra.

Fransis No Awe, Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun