Peristiwa Kendeng sebetulnya bukan hanya mempertaruhkan kepentingan kelompok petani dan pihak pabrik tetapi demi kepentingan alam lingkungan itu sendiri. Petani Kendeng menuntut penutupan pabrik karena mengancam keberlangsungan hidup mereka serta dampaknya bagi pertanian. Pihak perusahaanpun mempunyai pertimbangan lain sehingga belum mengabulkan tuntutan para petani. Perdebatan dan konflik kedua belah pihak terus terjadi karena masing-masing pihak mempunyai argumentasi tersendiri.Â
Namun ada celah lain yang harus dipertimbangan kedua belah pihak, yakni kepentingan alam lingkungan itu sendiri. Nilai moral lingkungan harus diutamakan dalam diskusi dan perdebatan kasus ini. Hal inilah yang belum dieksplorasi dalam pemberitaan maupun dalam diskusi publik di media sosial. Artikel ini mencoba memberi perspektif lain dari sisi moral lingkungan hidup.
Tindakan eksploitasi manusia terhadap alam dipengaruhi cara pandang antroposentris. Dimana manusia memandang diri sendiri sebagai pusat dari alam semesta. Manusia menjadikan alam sebagai sarana instrumental untuk memenuhi kebutuhannya melalui penambangan, penggusuran maupun penebangan hutan. Perilaku eksploitatif seperti ini seharusnya mempertimbangan nilai moral ekologi.
Bernhard Häring, seorang teolog moral memasukkan tema ekologi kedalam telaah moralnya, Free and faithful(1977). Kebanyakan moralis jamannya menolak karena tema ekologi sangat asing dalam dunia moral, disisi lain pada waktu itu, moralitas hanya diperuntukkan bagi manusia. Sedangkan hewan, sungai, laut, tanah, batu, hutan dan komponen yang lain dianggap tidak bermoral sebab tidak berakal, tidak mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk mengambil keputusan moral.Â
Tiga tahun kemudian, para pengeritik Haring sadar bahwa ekologi adalah tema urgen yang harus dibicarakan dalam teologi moral. Para teolog moral mulai menyadari pentingnya suatu tatanan hidup yang baik dan harmonis didalam kebersamaan dengan makhluk ciptaan yang lain dan alam ini. Maka moralitas bukan lagi sekedar persoalan manusia namun mencakup hidup manusia berhadapan dengan seluruh kosmos dan lingkungan hidup. Sejak saat itu, moral ekologi mulai serius dibicarakan dalam ruang-ruang diskusi. Bahkan wacana moral ekologi semakin gencar dipelajari ketika muncul fenomena pengrusakan lingkungan hidup diberbagai belahan dunia.
Berangkat dari pandangan ini, kaum moralispun menghendaki agar manusia tidak dengan bebas bertindak atas lingkungan hidup. Sebaliknya manusia mempunyai tanggungjawab dan kewajiban moral untuk menghargai lingkungan hidup. Sikap penghargaan ini didasari dari keyakinan bahwa setiap ciptaan mempunyai inherent value (nilai bawaan) dan intrinsic value (nilai hakiki). Nilaiinherent dan intrinsic ini merupakan fungsi dan manfaat lingkungan hidup bagi manusia. Oleh karena itu, manusia harus menghormati dan bersikap baik terhadap lingkungan hidup.
Mendiang paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Centesimus Annus (1991), juga menyerukan adanya sikap tanggung jawab terhadap lingkungan. Menurutnya, tanggung jawab ini harus diwujudkan dengan tindakan perlindungan dan penyelamatan keadaaan ekologi yang rusak, melindungi jenis-jenis hewan yang terancam punah dan keseimbangan bumi. Pandangan ini lahir dari analisisnya terhadap kegunaan dan persoalan ekologi dengan beberapa pertimbangan antara lain; Pertama, sumber-sumber alam sangat terbatas dan sejumlah sumber alam tidak dapat diperbaharui. Kedua, kekayaan alam milik seluruh umat manusia termasuk generasi yang datang bukan hanya kelompok tertentu (W. Chang, 2001).
Pemikiran para moralis dan seruan paus ini ingin mengajak masyarakat untuk introspeksi diri atas kenyataan kerusakan ekologi, ancaman juga dampak dari eksploitasi lingkungan. Oleh karena itu, pemikiran yang semula antroposentris harus bergeser menjadi biosentris dimana semua makhluk ciptaan mempunyai martabatnya sendiri. Pemikiran biosentris menekankan penghargaan moral yang sama antara manusia dan lingkungan, meskipun memiliki makna moral yang berbeda. Pandangan ini menolong manusia untuk menyadari eksistensi dirinya dan lingkungan sehingga menghindari diri dari sikap eksploitasi dan perusakan lingkungan.
Dalam menghadapi realitas peristiwa Kendeng, semua pihak harus bekerja sama dalam membangun visi dan misi yang baru untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. John Cobb menganjurkan adanya sikap askese ekologis. Yakni sikap mati raga untuk membatasi diri dari tindakan semena-mena terhadap lingkungan. Dengan sikap askese ekologis ini kita dapat memperbaiki lingkungan hidup yang telah rusak maupun menjaga kelestarian lingkungan.
Menjaga dan memperbaiki lingkungan hidup juga berarti kita bersikap adil baik terhadap lingkungan hidup itu sendiri maupun bagi generasi yang akan datang. Sebab tindakan pengrusakkan lingkungan saat ini sama artinya kita berlaku tidak adil untuk generasi yang akan datang. Oleh karena itu, manusia harus membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungan hidup. Hubungan yang harmonis mengandaikan tidak adanya eksploitasi yang merusak lingkungan hidup maupun yang tidak mengancam punahnya sumber-sumber mata air.
Jogya, 25 Maret 2017