Mohon tunggu...
Fransis No Awe
Fransis No Awe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asal-usul Nama Pulau Sumba

15 Desember 2017   15:07 Diperbarui: 15 Desember 2017   22:16 11096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Asal-usul nama pulau Sumba berjalinkelindan antara tradisi lisan masyarakat lokal dan sejarah yang ditulis oleh para penjelajah Eropa dan armada perang patih Gajah Mada. Para penjelajah Eropa memberi sebutan yang berbeda-beda berdasarkan pengamatan mereka terhadap kekayaan dan keunikan alam Sumba. Hingga kini ada beberapa sebutan untuk pulau Sumba antara lain; pulau Humba, pulau Sumba, pulau Subao, pulau Cendana atau pulau Sandelwood.

Catatan sejarah yang pertama kali menyebut nama pulau Sumba muncul pada abad ke 14 di Kerajaan Majapahit. Pada jaman Majapahit di Jawa Timur ada seorang raja yang berkuasa namanya Hayam Wuruk. Hayam Wuruk mempunyai patih atau orang kepercayaan namanya Gajah Mada. Pada tahun 1350, Gajah Mada mengucapkan janji bahwa ia tidak akan makan palapa sebelum mempersatukan nusantara. 

Pada tahun-tahun itu armada Gajah Mada menaklukan Sumatera, Kalimantan lalu menuju pulau-pulau sebelah timur dari pulau Seram, Timor hingga Larantuka (Flores timur). Di daerah Riang Puho, kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur terdapat bekas telapak kaki pada sebuah batu yang ukurannya lebih lebar dari manusia. Dalam tradisi lisan masyarakat sekitar meyakini bahwa itu adalah bekas telapak kaki Gajah Mada. Sesudah menaklukan Larantuka, armada Gajah Mada melakukan perjalanan pulang ke tanah Jawa. Dalam perjalanan pulang mereka menaklukan Bima, Sumbawa dan Bali.

Pada tahun 1357 armada Gajah Mada menaklukan Dompu (Sumbawa). Diperkirakan pada saat yang sama, Gajah Mada menaklukan Sumba. Hal ini nampak dari buku Negarakertagama yang ditulis oleh seorang pujangga bernama Empu Prapanca. Buku itu mendaftar nama-nama pulau yang ditaklukan oleh armada Gajah Mada, termasuk nama pulau dibagian timur pulau Jawa. 

Dalam buku itu tertulis; "Di sebelah timur tanah Jawa terdapat tanah jajahan; semua kepulauan Makasar serta Buton, Banggawi Kunir, Galian serta Salaya, Sumba, Solot (kemungkinan pulau Solor), Ambon atau pulau Maluku, Seram, Timor beserta pelbagai pulau lainnya", (Haripranata, 1984). Dari catatan ini nampak bahwa nama pulau Sumba sudah dikenal dalam kerajaan Majapahit.

Nama pulau Sumba tidak hanya dikenal oleh kerajaan Majapahit tetapi juga dikenal sampai di dunia barat. Pada abad kelimabelas, pedagang-pedagang Portugis berlayar ke pulau-pulau Indonesia mencari rempah-rempah dan barang dagangan lainnya. Pada tahun 1522 sebuah kapal Portugis bernama Victoria berlayar menuju Sabu dan Sumba. Salah seorang perwira dalam kapal itu bernama Antonio Pigafetta. Dari para penunjuk jalan, Pigafetta kerap mendengar nama cendana. Kemudian ia menggambar peta diberi nama 'Cendam'. Tetapi kemudian seorang juru gambar peta bumi bernama Jacopo Gastaldi menggambar sebuah peta lain diberi nama 'Subao'.

Meskipun Portugis pernah mengunjungi pulau Sumba tetapi mereka tidak mempunyai pengaruh yang kuat di Sumba. Belum ditemukan peninggalan dan jejak Portugis di Sumba. Berbeda dengan pulau Flores dimana pengaruh Portugis sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari nama-nama penduduk Flores Timur yang banyak bernama Fernandes, da Gomes, da Costa, dan da Silva. Sedangkan nama penduduk di pulau Sumba tetap memakai nama lokal seperti; Rambu, Umbu, Dangga, Bili, Malo, Lede, Mbulu, Ate, dll.

Pada abad ke 17, penjelajah Belanda mulai memasuki pulau Sumba. Tahun 1726 seorang ahli sejarah Valentijn menulis buku, dalam buku itu ia menggambarkan situasi pulau Sumba, "Sumba itu sebuah pulau yang sangat besar dan yang "woest" suatu kata Belanda yang berarti kosong, ganas atau tidak teratur". Dalam buku itu dilengkapi dengan gambar pulau yang diberi nama 'Pulo Tsijndana' atau 't Sandel Bosch Eyland' yang berarti pulau hutan Cendana. Orang Belanda menyebutnya 'Sandelhout Eyland' sedangkan orang Inggris menyebutnya 'Sandelwood Island'. Sejak saat itu pulau Cendana atau pulau Sandelwood menjadi julukan untuk pulau Sumba (Haripranata, 1984). Sebutan ini disematkan pula untuk kuda Sumba yakni kuda Sandelwood. 

Pada abad ke 17 hingga 18 terjadi eksploitasi besar-besaran hutan cendana dan kuda di pulau Sumba oleh para penjelajah. Ribuan ekor kuda Sumba dan ribuan kubik kayu cendana diekspor ke Eropa, negara-negara Asia dan pulau Jawa. Diperkirakan hutan cendana mengalami kepunahan pada abad 18 hingga awal abad 19 dan berkurang pula kuda Sumba, (Parimartha, 2002).

Masyarakat Sumba sendiri mempunyai tradisi lisan mengenai nama pulau Sumba. Tradisi lisan masyarakat Sumba menjelaskan itu dalam kisah Umbu Walu Manoku. Dikisahkan bahwa dahulu kala seorang yang mendarat pertama kali di pulau itu bernama Umbu Walu Manoku. Istrinya bernama Humba. Sebagai tanda hormat dan cinta kepada istrinya, maka pulau itu diabadikannya dengan nama Humba. Menurut Haripranata (1984), dalam bahasa daerah Sumba, huruf H kerap kali berubah menjadi Z atau S. Misalnya kata "Kabihu" di Sumba Timur akan menjadi "Kabisu" atau "Kabizu" di Sumba Barat. Adapun arti dari Humba atau Sumba adalah murni, polos dan tulus. Untuk mempermudah penyebutan dan untuk  menyatukan kedua wilayah pulau itu maka kata Humba diganti menjadi Sumba yang digunakan hingga sekarang ini. Dari kisah diatas nampak bahwa sejak dahulu kala, orang Sumba sudah mengenal konsep penghargaan, cinta, ketulusan dan penghormatan terhadap perempuan. Nilai kesakralan Sumba ini harus nampak dalam bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan.

Bagi mahasiswa, guru, dosen, budayawan, peneliti atau siapa saja yang berminat mempelajari tentang Sumba baik tradisi, kepercayaan lokal, budaya, narasi lisan, kekayaan filosofis, strata sosial, struktur politik-kekuasaan dan sejarah baik sejak zaman purbakala, kolonial, jaman perjuangan hingga jaman modern bisa merujuk dari beberapa literatur diantaranya; Masyarakat Sumba dan Adat Istiadat (1976), Sumba di Dalam Jangkauan Jaman (1976), karya Umbu Hina Kapita salah seorang sejarahwan Sumba. Cerita Sejarah Gereja Katolik Sumba dan Sumbawa (1984) karya H, Haripranata. Ia seorang misionaris yang sangat detail menulis tentang sejarah dan perkembangan Sumba dari masa ke masa dengan merujuk tulisan-tulisan berbahasa Belanda yang berasal dari catatan-catatan dan surat para penjelajah serta penuturan dari orang-orang lokal. Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915 (2002), karya I Gde Parimartha. Buku ini merupakan hasil penelitian disertasi yang sangat rinci mengulas sejarah dan perdagangan di Nusa Tenggara pada abad 18 hingga abad 19 berdasarkan arsip-arsip di negeri Belanda dan Indonesia. Beberapa literatur ini sangat valid dan mendetail menjelaskan segala sesuatu tentang Sumba. Literatur ini pula yang menjadi acuan utama penulisan artikel ini. Salam budaya..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun