Mohon tunggu...
Fransis No Awe
Fransis No Awe Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Peminat Kajian Budaya, Politik, Sastra dan Film

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Restorasi Partai dan Masa Depan Demokrasi

8 April 2016   11:41 Diperbarui: 8 April 2016   12:03 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan Rakyat Jogya Independen (Joint), untuk mencari calon wali kota Yogyakarta dan gerakan “teman Ahok” yang mengusung Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon independen dalam pilgub Jakarta sebagai sinyalemen partai politik dan para politisi untuk introspeksi diri. Tidak ada gunanya menebar wacana deparpolisasi sebagai wacana tanding, karena gerakan politik independen ini lahir dari kegagalan partai melahirkan kader-kader berkualitas, berintegritas dan bersih. Kasus korupsi, suap maupun tindakan immoral lainnya seperti narkoba, kekerasan fisik, black campaign termasuk aksi dukun santet yang mewarnai wajah perpolitikan akhir-akhir ini mengindikasikan terjadi krisis kepemimpinan. Belum lagi budaya nepostic corruption yang mengistimewakan kolega atau keluarga dalam hierarki kekuasan partai masih kental dinegeri ini.


Setali tiga uang, partai politik sebagai wadah untuk mengontrol dan mengatur para elitnya justru terjebak pada bargaining position maupun bargaining politik yang berkutat pada persoalan pembagian kedudukan dan kekuasaan. Perilaku seperti ini menunjukan adanya arogansi politik dan kekuasaan. Partai-partai koalisi bukannya menjadi oposisi yang de jure untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, justru de facto bertedensi pragmatis untuk kepentingan sendiri. Kegaduhan dilingkungan DPR, saling kritik yang sarkastik maupun bernostalgia keberhasilan masa lalu merupakan ekspresi ketidakharmonisan dan kecemburuan antar politisi maupun antar partai.


Sudahlah saatnya partai-partai politik mengintrospeksi diri. Karena saat ini masyarakat telah kehilangan kredibilitas terhadap partai yang tidak mampu menyokong kader partainya untuk tampil bersih tanpa korupsi atau melayani tanpa tedeng aling-aling. Masyarakat juga telah bosan dengan figur politisi partai yang terkesan opurtunis dan kurang peka pada masalah sosial. Maka mau tidak mau partai politik harus kembali pada makna eksistensialnya.


David Beetham dan Kevin Boyle dalam buku Introducing Democracy : 80 Question and Answers (1995), menulis tiga fungsi partai politik. Pertama, bagi elektorat (pemilih), partai politik membantu untuk menentukan pilihan mereka terhadap kedudukan dan program kebijakan. Kedua bagi pemerintah, partai politik menyediakan pendukung politis untuk menjalankan program-programnya setelah mereka terpilih. Dan ketiga untuk pihak-pihak yang memiliki komitment politis, partai politik memberikan kesempatan untuk terlibat dalam masalah-masalah publik, serta sebagai sarana pendidikan politik untuk mempengaruhi kebijakan publik.


Nampak jelas partai politik menjadi wadah bagi masyarakat untuk partisipasi dalam kegiatan politis. Melalui partai politik masyarakat menyampaikan aspirasi untuk kebijakan-kebijakn publik. Konsekwensinya, partai politik harus menjaring kader-kader yang berkualitas dan mampu menyuarakan aspirasi masayarakat, sekaligus terlibat dalam menjawabi persoalan-persoalan sosial masyarakat. Apabila partai politik tidak menjalani fungsi ini sebagaimana mestinya maka tepat apabila masyarakat mengambil kebijakan gerakan politik idenpenden.


Dari berbagai persoalan diatas dan seturut hakikatnya, partai-partai kini harus melakukan restorasi baik terhadap kader-kadernya maupun manajemen partai itu sendiri. Haryatmoko, dalam Etika Publik (2011) menggarisbawahi bahwa harus ada aturan perilaku yang jelas bagi pelayan publik yang berupa prinsip-prinsip untuk menghindari korupsi, pemborosan, kepentingan pribadi dan penyalahgunaan kekuasaan. Maka konsekwensinya harus memberikan pendidikan politik, etika dan moral terhadap kader-kader partai. Disisi lain perlu pembenahan dalam tubuh partai itu sendiri. Sebagai contoh, meringankan beban finansial dengan mengenyahkan prinsip do ut des, dimana setiap kader berkewajiban membayar kepada partai pengusungnya. Karena dengan beban seperti itu maka tidak menutup kemungkinan terbuka ruang untuk korupsi, suap maupun praktek immoral lainnya.

Sekiranya partai-partai politik hanya dapat menyelamatkan demokrasi dengan melahirkan kader-kader partai yang memiliki kualitas, integritas, bersih dan berpegang teguh pada prinsip bonum commune, untuk kesejahteraan bersama. Karena ini akan kembali membangun rasa kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Dengan demikian, demokrasi kita memiliki masa depan yang cerah. Salam demokrasi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun