Mohon tunggu...
Fransiskus Rahas
Fransiskus Rahas Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

saya suka berbagi pengalaman tentang pendidikan dan life style

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bijak Medsos

26 Januari 2025   06:54 Diperbarui: 26 Januari 2025   06:54 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
buku dan inspirasi (kupang, 23 Februari 2024)

Saat ini, fenomena berita bohong (hoax) khususnya melalui media sosial begitu marak terjadi di tanah air dan sejumlah berita bohong yang menyebar tersebut diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Dampak dari beredarnya berita bohong yaitu terbentuknya opini publik yang mengarah kepada terjadinya kehebohan di masyarakat, ketidakpastian informasi, dan menciptakan ketakutan massa. Sasaran dari beredarnya berita bohong tidak hanya ditujukan kepada individu, melainkan juga kepada institusi pemerintahan maupun swasta. Maraknya berita bohong dan menjurus fitnah di media sosial dan situs media daring bahkan telah menyita perhatian pemerintah dengan melakukan  evaluasi dan tindakan tegas terhadap media online yang menyebarkan berita bohong untuk melindungi tatanan sosial masyarakat, norma dan nilai yang dianut oleh negara serta sekaligus menjaga agar negara berjalan dalam suasana yang kondusif. 

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 menunjukkan pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023 (Kompas, 02/02/2024). Dari semua jenis konten internet, media sosial (Facebook, Instagram, Ask.fm, Path, Snapchat, Line atau Twitter) adalah konten yang paling banyak diakses, yaitu 129, 2 juta orang (97,4%). Sebagian besar dari pengguna internet adalah Gen Z (kelahiran 1997-2012) sebanyak 34,40%. Lalu, berusia generasi milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 30,62%. Kemudian berikutnya, Gen X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 18,98%, Post Gen Z (kelahiran kurang dari 2023) sebanyak 9,17%, baby boomers (kelahiran 1946-1964) sebanyak 6,58% dan pre boomer (kelahiran 1945 sebanyak 0,24%. Media sosial digandrungi oleh kaum muda karena generasi milenial inilah yang paling mudah berinteraksi dengan dunia maya dalam penyebaran akses informasi, hiburan, dan tempat berkespresi di ruang publik. Generasi yang berasal dari masyarakat yang heterogen ini dengan mudah dan cepat me-retweet, forward, shared atau broadcast suatu berita di media sosial dan bangga menjadi terdepan mengabarkan berita sensasional yang isinya bersifat universal dan belum tentu benar (hoax). Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya penyaring pesan (gatekeeper) bagi  setiap orang  yang mengakses, menyebarkan dan menerima informasi. Akibatnya,  berita bohong ini terlanjur tersebar dan disebarluaskan sehingga berdampak bukan hanya menyebabkan seseorang salah menerima informasi, tetapi lebih luas lagi akan menimbulkan keresahan, kepanikan, rasa takut dan sikap antipati terhadap institusi atau figur tertentu. 

SWA FILTERING

Pemerintah saat ini telah melaksanakan proteksi dan penyaringan aplikasi dan konten negatif yang digunakan untuk akses internet melalui penyaringan terstruktur (filtering by design) yang  diyakini dapat berjalan efektif untuk secara instan melindungi para pengguna yang awam, pengguna baru dan anak-anak terutama terhadap praktek penyesatan yang dilakukan oleh penyedia konten negatif. Misalnya menggunakan teknik deteksi kata kunci (keyword), pengenalan artifisial (regex) dan daftar putih (whitelist). Semua ini dikombinasikan pula dengan sistem dan teknologi anti virus, anti malware dan personal firewall yang terintegrasi di dalam sistem operasi. Dalam konsep ini,  seluruh pemangku kepentingan dan semua inisiatif  diadopsi, difasilitasi dan didorong oleh pemerintah untuk bekerja sama membangun suatu layanan penyaringan konten negatif yang terintegrasi dan komprehensif sesuai  dengan kewenangan pemerintah (regulasi, birokrasi, dan represi). Namun  pada prakteknya filtering ini  sangatlah terbatas dan tidak mampu menjangkau seluruh populasi pengguna internet yang terus tumbuh dan berkembang dengan pesat. Sehingga kondisi pada umumnya yang terjadi adalah lebih banyak pengguna internet yang tidak terlindungi dan menimbulkan aneka kerawanan. Maka alternatif baru yang disarankan adalah proteksi preventif dan reaktif dengan menggugah kesadaran dan memberi keterampilan serta solusi (perangkat, tools, layanan) sehingga para pengguna mampu melindungi dirinya sendiri secara mandiri.  Konsep swa filtering ini diyakini dapat berjalan efektif dan secara strategis lebih mendidik dalam jangka panjang karena turut menyiapkan kesiapan mental pengguna internet, sekaligus meminimalisir intervensi, arogansi dan penyalahgunaan kewenangan pemerintah di dalam melakukan represi ranah internet dimana hal tersebut dapat berpotensi mencederai hak kebebasan berbicara dan berekspresi.

PENDIDIKAN LITERASI MEDIA

Konsep swa filtering mengasumsikan bahwa di era teknologi informasi ini  masyarakat kita bukan hanya  sebatas menjadi pengguna (user) media sosial. Masyarakat harus mengerti dan faham bahwa media sosial tersebut bukanlah ruang hampa, atau sekadar program algoritma, dan imajinatif.  Dalam media sosial, pengguna menjalin relasi dengan manusia hidup dan sungguhan yang memiliki tingkat emosional dan  berada di balik akun.  Lewat jejaring, seseorang mampu membuat akun pribadi yang bisa diakses oleh siapa saja yang dia inginkan, bicara dan berbagi informasi apa saja dan dari mana saja, kapanpun mereka mau, tanpa harus menunggu jam tayang atau waktu terbit. Oleh karena itu, swa filtering haruslah didukung dengan pendidikan kemampuan literasi media sosial baik dalam pendidikan formal maupun informal agar  pengguna bisa mendapatkan edukasi dan pendampingan secara berkelanjutan dan konstan. Dari sinilah, terbentuknya sikap kritis dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan isi pesan di dunia yang sesak-media dan tidak berbatas (borderless).  

Secara konseptual, Edukasi literasi diimplementasikan dengan membangun  satu perangkat perspektif dimana netizen secara aktif memberdayakan diri mereka sendiri dalam menafsirkan, mengantisipasi pesan-pesan yang diterima dan kritis sekaligus kreatif terhadap media. Perangkat ini berisikan rambu-rambu dan code of conduct berinternet yang dapat membantu pengguna internet  nantinya tidak hanya menjadi orang yang selektif dan analitik terhadap media dan substansinya, tetapi juga produktif dalam mengembangkan ide-ide yang mereka tangkap dari media. Dengan perangkat ini, pengguna dapat dituntun untuk membaca berbagai sumber atau referensi, meresepsi dan menganalisa realita, menginterpretasi dinamika yang ada, dan berpartisipasi di media yang mendatangkan manfaat bagi orang banyak dalam konteks kepekaan wacana sosial dan kemasyarakatan.  Tentunya, literasi media sosial ini dapat berjalan dengan maksimal jika masyarakat dan seluruh pemangku kepentinga bisa diajak secara partisipatif menuju suatu kesepahaman dan kesamaan persepsi sehingga  internet Indonesia semakin maju, aman dan nyaman terbebas dari gangguan konten negatif dan berganti dengan tumbuhnya konten positif yang bermanfaat, memajukan dan mensejahterakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun