Isu pro dan kontra PILKADA kembali memanas ketika sejumlah partai koalisi merah Putih mengusulkan revisi UU mengenai pemilihan kepala daera dengan tujuan pokok mengembalikan PILKADA baik gubernur maupun bupati,walikota dikembalikan kepada mekanisme pemilihan oleh anggota DPRD.Masalah PILKADA ini sebenarnya isu yang sudah lama diwacanakan semenjak PILKADA langsung dimulai,UU otnomi derah yang berlaku untuk mengganti sistim sentralis menjadi sistim desentralisai melahirkan UU yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung.
Maka dimulaila eforiahPILKADA langsung diberbagai daerah di Indonesia,yang mana merupakan substansi dari kedaulatan ada di tangan Rakyat, Indonesia sendiri memiliki 300 lebih daera otonomi yang tersebar dari sabang sampai Merauke,sehingga dipastikan setiap tahun pasti ada penyelengaraan PILKDA baik pemilukada tingkat kapupaten kota,maupu tingkat Profinsi.
Masalah pertama yang timbul adalah mahalnya biaya untuk satu putaran pilkada sebagai gambaran untuk pemilihan tingkat kabupaten kota dana yang dibutuhkan 6-12 milyaruntuk tingkat Profinsi60-70 milyar, bahkan untuk jawa barat sekitar 500 milyar.jadi tergantung kepadatan penduduk demikian menurut Ketua KPU Husni Kamil Malik.dengandemikian dapat kita bayangkan betapa mahalnya biayauntuk PILKADA.Itu baru dana yang dikeluarkan oleh KPU atau negara,belum dana yang dikeluarkan oleh kandidat kepala daerah, yang mencapai 20-30 M untuk pilkada tingkat kabupaten kota,danuntuk tingkat Gubernur bisa mencapai angka ratusan miliar.
Gambaran yang bisa kita evaluasi semenjak PILKADA berlangsung ±15 tahun ini dapat kita petakan dalam dua bagian Pokok. Yaitu PILKKADA yang penuh dengan masalah dan Pilkada yangrelatif tidak bermasalah. Pilkada yang penuh masalah dapat kita lihat dengan kasat mata dimana dibeberapa daerah yang melangsungkan Pilkadaterjadi bentrok,kerusuhan antar pendukung pasca pemungutan suara atau pasca putusan KPU,praktik money politik yang begitu masif memang berlangsung diakui ataupun tidak.Persoalan lain yang muncul adalah rusaknya hubungan kekerabatan Masyarakat setempat karena masalah dukung mendukung.
Masalah belum berakhir ,setelah sang kepala daera terpilih berkuasa,ia harus berpikir keras mengembalikan modal yang ia sudah keluarkan untuk menjadi kepala daerah,gaji seorang kepala daerah tidak akan mungkin menutupi,maka jalannya adalah korupsi APBD.itulah yang menyebabakansekitar 154 pejabat setingkat kepalah daera terlibat dan menjadi tersangka kasus korupsi ,demikian data menurut kementerian dalam negeri.sebagian sudah divonis dan yang lain dalam proses persidangan atau penyelidikan.
Nampaknya alasan inilah yang menjadi dasar utama pihak yang pro terhadap Pilkada dikembalikan kepada mekanisme pemilihan oleh DPRD setempat.Namun pertanyaan kritisnya adalah dapatkah alasan ini menganulirsubstansi PILKADA langsung sebagai manivestasi kedaulatan rakyat?,sekiranya menuruthemat penulis tidak sama sekali !!.Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir yang parsial karena tidak mengelaborasi persoalan secara menyeluruh,kemudian menarik kesimpulan yang begitu cepat. Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana menjamin PILKADA oleh DPRD akan berlangsung dengan fair tanpa money politik??, Bagaimana memastikan bahwa sang calon terpilih benar-benar merupakan keinginan rakyat setempat, yang dimanifestasikan oleh anggota DPR yang memili??,bagaimana dengan persamaan hak sebagai warga negara untuk dipilihjadi kepala daera tidak terkebiri oleh sistem seperti ini?. Tidakka sistem ini membuat orang-orangyangmemilik track record yang baikdan memilik kompetensi untuk memimpin satu daerah menjadi terhambat untuk tampil. Bagaimana mekanisme rakyat untuk menghukum kepala daerah yang tidak memenuhiharapan? Bukankah mekanismenya adalah dengan pemilu langsung. Bagaimana menjamin Kepala daera terpilih tidak akan melakukan korupsi? Dan pertanyaan lain yang masihbanyak jika akan dilanjutkan.
Janganlahkiranya kelemahan2 yang masih terjadi dalam proses PILKADA selama ini membuatsubstansi dari Pilkada langsung menjadi terpotong. Bukanka semua butuh proses pembelajaran,butuh waktu untuk sampai pada demokrasi yakni PILKADA langsung yang memenuhi substansi yang sebenarnya,yakni terpilihnya pemimpin yang memiliki kompetensi serta track record yang baik. Arah itu sebenarnya sudah mulai terlihat dengan munculnya pemimpin daera yang berprestasi , sebutla Jokowi yang sukses di Solo,Walikota Bandung Ridwan Kamil,Walikota Surabaya Tri Risma, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah,walikota Surakarta ,Wakil Gubernur DKI Ahok,Ganjar Pranowo gubernur Jawa Tengah. dll
Suka atau tidak memang masih banyak yang harus diperbaiki dalam mekanisme PILKADA yang sudah berlangsung selama ini, misalnya terkait dengan biaya yang begitu besar dalam penyelenggaraan PILKADA, ini bisa kita siasati dengan PILKADA serentak, biayanya akan lebih MURAH. Bagaimana dengan besarnya biaya yangdibutuhkan ole kandidat untuk berkompetisi,mengapa tidak menggunakan APBN sebagian untuk proses pembiayaan dan merupakan bagian keseluruhan Penyelengaraan PILKADA? Biaya politik akan lebih murah ketika demokrasi Partisipasi mulai tumbuh dalam Masyarakat. Bukanka biaya politiksebagian habis untuk money Politik.Jika saja money Politik tertekan maka biaya poltik pasti rendah,jadi persoalannya kembali pada penegakan hukum atau aturan. Yang perluh kita catat disini ialah kita telah memilih jalan demokrasidan sesungguhnya demokrasi itu memang butuh pengorbanan.
Mengembalikan Pilkada kemekanismepemilihan DPRD ,menunjukkan cara berpikir kita yang malas,dan mengambil haluan putar balik kembali ketitik nol.Hal ini sama saja dengan menghianati,cita-cita reformasi yakni mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Catatanakhirnya adalahadakah maksud dibalik dari pemikiran Koalisi Merah Putih ini?
mengapa ?karena sebelumnya partai-partai ini di luar partai demokratmasih menghendaki Pilkada Langsung,kok tiba-tiba putar haluan. Entahla
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H