Mohon tunggu...
Fransiskus YonataDefriyanto
Fransiskus YonataDefriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Hobi traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi Rendang Babi: Kurangnya Jiwa Pluralisme di Dalam Diri

21 Juni 2022   23:46 Diperbarui: 21 Juni 2022   23:47 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Apa yang di maksud dengan pluralisme? Pluralisme terdiri dari dua bagian kata, yaitu Plural yang artinya beragam dan Isme yang artinya paham. Dari dua bagian kata tersebut bahwa pluralisme adalah kesediaan untuk menerima berbagai keberagaman yang ada (pluralitas). Sehingga pluralisme dapat di artikan untuk dapat hidup secara toleran dengan keadaan tatanan masyarakat yang berbeda agama, suku, dan budaya. Pluralisme menyangkutkan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan untuk kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi, sehingga untuk dapat tercapainya pluralisme dibutuhkan adanya kematangan dari sebuah kepribadian seseorang atau sekelompok orang.

            Konsep pluralisme sendiri awalnya dicetuskan oleh Christian Wolff dan Immanuel Kant yang sebagai filosof eropa pada abad ke-18. Mereka menekankan doktrin terhadap adanya kemungkinan pandangan -- pandangan dunia dikombinasikan pada kebutuhan guna mengadopsi sudut pandang pada universal penduduk dunia.

            Indonesia merupakan sebagai negara pluralisme, alasan Indonesia bisa disebut negara yang pluralisme dikarenakan kemajemukan yang ada (suku, agama, ras, dan antar golongan). Kemajemukan yang ada di Indonesia dipersatukan oleh ribuan pulau -- pulau dengan berbagai kekayaan alam (geografi) serta manusia dengan berbagai ikatan primodial dan budayanya (demografi).

            Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau yang biasa di panggil Gus Dur adalah presiden yang dikenal sebagai bapak pluralisme. Berdasarkan keterangan dari Museum Kepresidenan Repulik Indonesia Balai Kirti, Gus Dur mendapatkan gelar bapak pluralisme dikarenakan beliau memberikan gagasan -- gagasan universal menyangkut pentingnya mengormati dan menghargai perbedaan sebagai bangsa yang beragam dan lantang dalam membela minoritas. Kata -- kata Gus Dur yang paling mendalami sebagai seorang yang pluralis adalah 

"Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya agamamu" (Gus Dur).

sumber: iStock
sumber: iStock

            Lalu adanya sebuah kontrovesi tentang rendang babi, rendang adalah makanan khas Sumatra Barat, Sumatra Barat sendiri adalah daerah yang terkenal akan masakannya yang halal. Namun belakangan ini rendang menjadi kontroversi dikarenakan berbahan dasar babi. Pemilik restoran yang menyajikan rendang babi ini pun di bawa ke Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara untuk meminta keterangan. Sergio sebagai pemilik restoran "Babiambo" ini menuturkan bahwa ia meminta maaf kepada masyarakat karena telah membuat kegaduhan serta Segio pun menjelaskan bahwa usahanya ini di buka saat awal 2020, namun usaha ini sudah di tutup karena hanya bertahan empat bulan.

            Setelah krarifikasi dari pihak pemilik restoran rendang babi  meminta maaf, hal tersebut tentu saja masih menuai polemik. Gus Miftah pun menanyakan tentang masalah ini ia mengatakan sejak kapan rendang punya agama. Hal ini pun memicu berbagai pro dan kontra dari berbagai masyarkat Indonesia. Namun belum usai kontroversi rendang babi ini Pendeta Gilbert Lumoindong mengatakan semua makanan yang memakai kata "bak" itu seharusnya mengandung babi kata "bak" sendiri berasal dari bahasa Hokkien.

            Menurut saya kontrovesi dan polemik terhadap rendang babi ini berasal dari kurangnya jiwa pluralisme yang di miliki masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia perlu untuk mendalami dan menguatkan jiwa pluralisme, sehingga yang diharapkan di Indonesia tidak ada lagi perdebatan tentang hal sepele seperti ini. Modifikasi atau inovasi dalam perpaduan makanan adalah hal yang normal, dengan adanya inovasi ini seharusnya menunjukan kemajuan budaya yang ada di Indonesia. Terlebih lagi masakan atau bumbu masak tidak memiliki agama. Dengan kejadian ini kita dapat melihat bahwa disini lah pentingnya jiwa pluralisme itu di miliki agar tidak memunculkan perdebatan yang besar serta pluralisme juga dapat menumbuhkan rasa persatuan dan toleransi yang baik bagi kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun