Mohon tunggu...
Fransiskus K. Doken
Fransiskus K. Doken Mohon Tunggu... Jurnalis - Membangun Indonesia Dari Pinggiran

Bekerja di DP2KBP3A Kabupaten Flotim, NTT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Titi Jagung, Cara Lestarikan Pangan Lokal di Desa Adobala Pulau Adonara

8 Februari 2020   11:00 Diperbarui: 8 Februari 2020   11:12 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari dalam dapur berukuran 2 x 3 meter inilah Ibu Rosario Lamabelawa (38 tahun) memulai aktivitas hariannya. Dapur berukuran kecil ini berfungsi sebagai tempat memasak sehari-hari, juga tempat untuk membuat "Jagung Titi". Hampir setiap hari ia meniti jagung  (menumbuk butiran jagung menjadi pipih seperti kripik). 

Seperti umumnya masyarakat di Desa Adobala Kecamatan Kelubagolit  Kabupaten Flotim NTT, Ibu Ros menggunakan peralatan yang sangat sederhana yaitu, periuk tanah kecil untuk menyangrai butiran jagung, batu ceper sebgai landasan untuk meniti dan batu berbentuk lonjong yang berfungsi sebagai penumbuk (titi).

Untuk membuat jagung titi biasanya dilakukan pada subuh sampai menjelang pagi. Kegiatan ini dilakukan Ibu Ros sebelum ke kebun. Ketika disambangi media (Sabtu, 08/02/2020) di kediamannya di Dusun II Desa Adobala, Ibu Ros Marten begitu sapaannya menjelaskan proses pembuatan jagung titi (wata kenae) dimulai dengan; butiran-butiran jagung pipilan  disangrai di dalam periuk tanah. 

Cukup menggunakan kayu bakar yang sedikit saja, agar jagung titi tidak cepat gosong. Setelah berwarna agak kekuningan atau sekitar 3 menit disangrai. 

Bila periuk tanah tadi terdengar berbunyi"kletek-kletek-kletek" itu tandanya jagung sudah siap untuk dititi, 3 sampai 4 butir jagung diambil langsung dari periuk dengan menggunakan tangan tanpa alas, lalu diletakan di atas batu landasan, butiran jagung tadi ditumbuk (dititi) menggunakan batu lonjong seberat lebih kurang 2 kg. diperlukan ketepatan waktu antara meletakan butiran jagung dan menarik telapak tangan agar tidak terpukul. Dengan sekali titi saja, sudah jadilah 'Jagung Titi"

Martinus Kopong Doken, Suami Ibu Ros menambahkan,"Bahan jagung titi (wata kenae) diambil dari hasil panen kami sendiri, biasanya yang paling enak berasal dari Jagung Pulut (wata pulut), sedangkan agar proses menitinya lebih muda, digunakan jagung yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua".

Jagung Titi (wata kenae) ini tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri, tetapi juga untuk dijual sebagai penambah penghasilan keluarga. Tidak sulit untuk memasarkan Jagung Titi ini, setidaknya itu diungkapkan oleh Martinus Kopong Doken (Suami Ibu Ros). " Satu toplex dihargai Rp. 10.000,-.
Kepada media, Ibu Ros yang juga anggota PKK desa Adobala mengajak masyarakat Desa Adobala untuk melestarikan pangan lokal, karena pangan utama kita sebenarnya bukanlah " Beras (waha)" tetapi Jagung (wata)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun