Baru-baru ini, dunia sepakbola diberi detail baru tentang bagaimana para pesepakbola menghadapi ekspektasi yang datang dengan menjadi atlet yang terkenal secara nasional dan global. Berita yang menggemparkan ini datang dalam bentuk wawancara Jack Wilshire baru-baru ini yang dilakukan oleh Athletic UK. Mantan bintang muda Inggris dan internasional memberikan wawancara emosional yang menyoroti pasang surut, penyesalan dan kegembiraan sepanjang karirnya.
Salah satu momen penting yang mengubah lintasan karirnya adalah hambatan yang diwujudkan dalam banyak cedera fisik yang harus ia tanggung, yang bersinggungan dengan stigmatisasi oleh klub, agen, dan aktor besar lainnya di industri ini. Kesehatan mental bukanlah topik yang umum dibicarakan oleh para atlet, dan kesadaran dalam hal ini masih sangat minim. Wawancara singkat Wilshire agak memanusiakan tokoh olahraga yang sering digambarkan sebagai 'dewa' atau sosok yang 'tak bisa tersentuh'.
Pesepakbola atau atlet pada umumnya, merupakan sosok yang mendapat perhatian dari semua lapisan masyarakat. Dari media, fans, dan aktor penting dalam industri ini, pemberian perhatian secara terus menerus terhadap tokoh-tokoh olahraga ini telah memaksa mereka untuk memperhitungkan detail-detail kecil dari kehidupan mereka sambil juga bersiap untuk serangan balasan dari tindakan penyimpangan terkecil. Dalam kasus Jack Wilshere, masalah lain yang perlu ditangani adalah besarnya harapan yang diberikan kepada prospek sepakbola muda oleh media dan penggemar. Ini juga dapat merugikan para atlet, terutama mereka yang menjadi sorotan sejak usia muda.
Pemain seperti Royston Drenthe dan Freddy Adu, adalah beberapa contoh wonderkids muda yang gagal memenuhi ekspekatasi. Dalam wawancara tersebut, Wilshere, yang merupakan dulunya adalah salah satu prospek paling cemerlang di Inggris  merefleksikan bagaimana ia mengalami tekanan tinggi sejak usia dini. Namun, untungnya bagi Jack, ia berhasil meminimalisir dampak dari tekanan yang pesepakbola muda umum rasakan.
Walaupun Wilshere sempat terjerat beberapa kasus seperti perkelahian di klub malam pada tahun 2016, perselingkuhan di tahun 2010, dan beberapa kali tertangkap merokok di tempat hiburan malam, dia berhasil memeretahankan standar tinggi performanya di Arsenal. Hal ini dicerminkan performa berstandar tinggi di lapangan hijau yang mampu ia tunjukkan selama menjadi sebagai pemain Arsenal di bawah manajemen Arsene Wenger, semakin memicu antusiasme dari media dan penggemar. Penampilan man of the man of the match baik untuk klub maupun negara adalah hal yang biasa bagi Wilshire selama awal dan pertengahan karirnya.
Namun, dia saat ini berusia 29 tahun dan tanpa klub karena penurunan performanya yang disebabkan oleh cedera parah. Idealnya, 29 tahun adalah usia di mana para atlet biasanya mencapai puncaknya. Dia menyatakan bahwa "Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan berada di posisi ini". Pernyataan yang diucapkan oleh Jack cukup merefleksikan keadaan karirnya saat ini, dan juga meringkas perjalanan roller-coaster yang dia alami sepanjang karirnya.
Bagian emosional lain yang disoroti wawancara adalah bagaimana keluarga Jack, terutama anak-anaknya yang masih kecil, berbicara kepada ayahnya yang menganggur selama satu tahun terakhir setelah dirilis oleh AFC Bournemouth musim lalu. Serangkaian masalah pribadi seperti kesehatan putranya yang buruk juga menyebabkan penundaan comeback yang dia proyeksikan ke lapangan sepak bola.
Jack Wilshire adalah salah satu cerita 'bagaimana jika' terbesar di sepak bola. Turun nya performa secara drastis yang dialami Wilshere, amat sangat jarang terjadi sebelumnya di level tertinggi sepak bola. Hal ini benar-benar memberi pembaca dan penggemar sepak bola sesuatu untuk dipikirkan sebelum menilai seorang pesepakbola. Kasus Jack Wilshire menunjukkan jumlah ketabahan mental yang harus dimiliki para pesepakbola.
Menjadi pesepakbola atau atlet adalah profesi yang sangat rapuh. Cedera terkecil dapat berdampak besar pada jiwa seorang atlet, dan bangkit kembali bukanlah hal yang mudah. Wilshire mengakui bahwa selama periode kesulitan pribadi yang terus-terusan dialami dia, klub menutup pintu mereka, dan tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk mendapatkan kontrak benar-benar memengaruhi mentalnya saat ini. Mempertimbangkan pensiun dini dari olahraga, dan mencari karir di tempat lain sudah ada di dalam benak Wilshire. Bila hal ini benar terjadi, akan menjadi akhir yang menyedihkan untuk seorang mantan sepak bola bintang yang saat ini layak mendapat kesempatan hanya dari jumlah dedikasi yang telah dia berikan untuk olahraga yang dia cintai.
Wawancara Jack Wilshere benar-benar menimbulkan pertanyaan tentang berapa banyak atlet yang mengalami hal-hal yang dia alami saat ini, tetapi tidak mendapat perhatian yang sama. Kasus serupa tetapi tidak persis sama terjadi di Jerman ketika Lars dan Sven Bender memutuskan untuk pensiun dan meninggalkan olahraga hanya pada usia 31 karena cedera. Perbedaan utama adalah saudara-saudara Bender tidak dipaksa pensiun, melainkan pensiun dengan keputusan mereka sendiri. Contoh menonjol lainnya dari atlet yang harus menanggung cedera dan hampir pensiun, adalah Derrick Rose di NBA. Kisah Rose sangat mirip dengan Wilshere, karena dia mengalami cidera dan karirnya teralihkan secara besar-besaran.
Isu Jack Wilshire justru menunjukkan kurangnya humanisasi pesepakbola karena status quo mereka. Pesepakbola adalah manusia, sama seperti kita. Itu tidak tahan terhadap kesulitan dan masih bisa merasakan sakit. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa kurangnya perhatian yang diberikan kepada atlet yang terpaksa pensiun atau memiliki pemikiran pensiun oleh para profesional di industri sepakbola.