Pada tanggal 15 Mei 1998, Soeharto telah kembali ke Indonesia setelah menghadiri pertemuan KTT G-15 di Kairo ... sebuah percepatan yang nampaknya hendak memenuhi skenario pencitraan Soeharto sebagai penjaga keamanan ... sebab pada hari saya turun ke jalan, Kota Jakarta lumpuh total. Meski aksi perusakan dan penjarahan telah mereda, situasi keamanan di Jakarta masih tidak menentu sehingga aktifitas bisnis dan perkantoran praktis lumpuh total. Skenario pencitraan nampaknya gagal total karena aksi massif yang dilakukan oleh mahasiswa dan massa di depan gedung DPR-MPR. Tambahan pula sikap plin-plan Soeharto mulai nampak ketika wartawan mengkonfirmasi ucapannya di Kairo yang meyatakan dirinya siap mundur jika rakyat Indonesia menghendaki.
Pada tanggal 16 Mei 1998 kalangan expatriate dan warga keturunan Tionghoa yang memiliki cukup modal keluar dari Indonesia. Hal ini berani dilakukan karena pada hari sebelumnya tidak ada aksi perusakan dan penjarahan, begitu pun aksi perkosaan dan pembunuhan terhadap warga keturunan Tionghoa tidak terjadi. Demi menjaga kemungkinan yang lebih buruk di kemudian hari, saya sendiri dapat memaklumi ketakutan mereka. Pada masa-masa itu memang sulit untuk membedakan mana kawan atau lawan ... bahkan untuk sesama aktifis sekalipun.
Hari Senin sore hari, tanggal 18 Mei 1998, polarisasi dalam lingkaran utama kekuasaan Soeharto mulai nampak. Diawali dengan pernyataan Harmoko yang menghimbau kepada Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya terkait dengan desakan dari seluruh elemen perjuangan demokratik agara Soeharto segera mengakhiri kekuasaan diktatorialnya selama lebih dari 3 dasawarsa. Entah karena desakan dari mahasiswa yang telah berhasil mengokupasi gedung DPR-MPR atau karena tidak mau kehilangan popularitasnya dikalanganm asyarakat atau karena memang sudah muak dengan kelakuan "orangtua" yang telah membesarkannya dalam dunia politik Indonesia ... yang jelas pernyataannya ini membuat barisan tokoh-tokoh politik yang semula berdiri mengawal kekuasaan Soeharto mulai kehilangan percaya dirinya dan mengkalkulasi keuntungan dan kerugian politik yang mungkin mereka hadapi setelah statement ini muncul ke publik. Di sisi lain, pernyataan yang dilontarkan oleh Harmoko selaku ketua MPR masa itu, seolah memberi angin segar kepada gerakan demokratik karena seorang kepercayaan dari "pria tua" ternyata berani bersikap berbeda dan mendukung perjuangan demokratik yang sedang berlangsung. Hanya berselang beberapa jam kemudian, pada malam harinya, Jendral Wiranto memberikan counter-statement atas pernyataan Harmoko sebagai pendapat pribadi Harmoko dan tidak mewakili institusi MPR serta tidak memiliki landasan hukum (sebuah retorika panik dari kekuasaan yang selama 32 tahun berkuasa di Indonesia tanpa landasan hukum yang jelas ... seorang pelanggar hukum yang ketika ketahuan berbalik menuntut keadilan hukum ... sebagaimana yang saat ini juga sedang dipertontonkan oleh para koruptor dan maling-maling uang rakyat). Meskipun Wiranto menyatakan bahwa jajaran pimpinan negeri masih kompak dalam berada dalam satu garis komando dibawah Soeharto, namun hari-hari berikutnya fakta menunjukkan situasi yang berbeda ... pun juga perubahan sikap yang kemudian dilakukan oleh Wiranto dengan mengatasnamakan ketaatan pada hukum dan ketentuan yang berlaku di Republik ini.
Selasa, 19 Mei 1998 ... Soeharto memanggil 9 orang tokoh masyarakat yang dianggap memiliki pengaruh pada massa ... untuk melakukan negosiasi politik atas kedudukannya yang saat itu tengah terancam. Kesembilan tokoh yang diundang menyatakan hal yang sama ... yaitu ... sebaiknya Presiden Soeharto memenuhi tuntutan mahasiswa dan massa rakyat: MELETAKKAN JABATANNYA SEBAGAI PRESIDEN MANDATARIS RAKYAT! Soeharto menolak! Lalu menawarkan "jalan tengah" dengan pengajuan pembentukan KOMITE REFORMASI yang nantinya akan melakukan proses alih kepemimpinan sesuai dengan jalur hukum yang ada. Tawaran ini sebenarnya hanya sebuah konsesi politik untuk mempertahankan kekuasaannya hingga periode pemilihan umum berikutnya. Sebab jajaran tukang-tukang hukum yang ada dibelakangnya sudah mempersiapkan jalur hukum yang aman bagi Soeharto untuk lengser dari jabatannya ... dan dikemudian hari peranan DR. Yusril Ihza Mahendra sangat menentukan dalam proses "pengamanan" lengsernya Soeharto. Ya ... pengamanan dari jerat hukum atas tindak kesewenangan Soeharto semasa ia berkuasa (Holocause 1965, ethnic cleansing 1974-1984-1998, Pembantaian masyarakat lampung, pembantaian masyarakat betawi 1984, pembantaian masyarakat Timor Timur 1991, pembunuhan aktivis PDI Pro Mega tahun 1996, penculikan dan penghilangan sejumlah aktifis pro demokrasi di tahun 1996, dan masih banyak persoalan kemanusiaan lainnya yang tidak terselesaikan hingga akhir hayatnya ... apa enaknya ya mati meninggalkan dosa politik begitu banyak?) ... dan praktek korupsi-kolusi-nepotisme sepanjang kekuasaannya yang telah menempatkan keluarganya menjadi salah satu taipan yang diperhitungkan di dunia internasional (dan saat ini sedang berupaya menajamkan kembali kuku-kukunya ke kekuasaan di negeri ini dengan kemenangan Tutut dalam perseteruan kepemilikan TPI s/k MNC TV dan pembentukan partai politik yang digagas oleh Tommy Soeharto). Kesembilan tokoh yang diundangnya menyatakan akan memikirkan ... walau beberapa orang diantara kesembilanorang terebut berikukuh bahwa penyelesaian problem nasional ini hanya dapat dilakukan dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Tanggapan seluruh elemen gerakan demokratik sepakat menolak usulan pembentukan KOMITE REFORMASI tersebut dan tetap meneruskan aksi pendudukan gedung DPR-MPR hingga Soeharto mundur.
Tanggal 20 Mei 1998 ... aksi memperingati hari Kebangkitan Nasional dilakukan dengan menyelenggarakan upacara bendera di halaman gedung MPR-DPR ... namun saat penaikan Sang Saka Merah-Putih, setelah mencapai puncak, diturunkan kembali hingga setengah tiang ... sebagai simbol keprihatinan seluruh bangsa Indonesia atas rejim Soeharto yang ndableg (tidak tahu diri) dan atos endas (keras kepala). Sore hari ... tersiar kabar bahwa pada tanggal 21 Mei 1998 (yaitu keesokan harinya) Soeharto dikabarkan akan meletakkan jabatannya. Siapa penggantinya? Sudah dapat ditebak akan jatuh ke tangan Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden. Seandainya skenario ini terjadi, seluruh elemen gerakan demokratik sepakat untuk menolak kepemimpinan Habibie dan menuntut pembentukan Dewan Reformasi yang nantinya bertugas sementara waktu (bersifat ad-hoc) untuk menyiapkan proses pemindahan kekuasaan.
Tanggal 21 Mei 1998 ... hari ini ... 13 tahun yang lalu ...
Pagi hari pukul 09:00 seluruh stasiun televisi menayangkan detik-detik pemindahan kekuasaan dari Soeharto ke ... yang sudah ditebak ... BJ Habibie. Ketika Soeharto menyatakan mundur ... gegap gempita membahana di seluruh gedung (namun saya tidak yakin itu disambut gembira oleh seluruh rakyat Indonesia yang sebenarnya saat itu sedang mengalami kebingungan dan bersikap menunggu dan menyaksikan atas pentas politik nasional masa itu). Seluruh pimpinan aksi dan elemen-elemen gerakan demokratik melakukan rapat darurat untuk menyikapi situasi yang terjadi pada pagi hari. Walau semua sepakat bahwa proses pemindahan kekuasaan yang terjadi pada pagi harinya adalah inkonstitusional ... namun terjadi polarisasi dalam proses penyelesaian persoalan pemindahan kekuasaan ... sebagian pihak menuntut MPR yang ada saat itu melakukan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto selaku Presiden Mandataris MPR sekaligus mencabut mandat yang telah diberikan kepadanya ... di lain pihak menuntut MPR melakukan Sidang Istimewa dan mencabut mandat presiden dari BJ Habibie dan membentuk Presidium Rakyat yang bertugas untuk membentuk pemerintahan yang baru.
Setelah pengumuman itu dilakukan, berangsur-angsur massa yang menduduki gedung MPR-DPR selama hampir 4 hari itu meninggalkan gedung. Akibatnya adalah konsolidasi gerakan setelah mundurnya Soeharto ... seketika menjadi buyar. Di sisi lain, ancaman kudeta bersenjata dari kelompok militer yang tidak puas dengan proses peralihan kekuasaan itu telah beredar sebagai rumors. Bahkan isunya sampai potensi terjadinya perang kota. Presiden yang baru hasil serah terima dari Soeharto dikabarkan juga diamankan disebuah lokasi yang dirahasiakan karena ancaman kudeta militer ini. Lain isu yang beredar pula bahwa ada operasi pembersihan gedung DPR-MPR dari massa yang telah mendudukinya ... hal ini pun sempat saya konfirmasikan kepada seorang anggota militer dari kesatuan marinir yang kebetulan berjaga-jaga di sekitar areal gedung MPR-DPR ... dan dinyatakan olehnya bahwa informasi yang ia peroleh dari kesatuan militer yang bermarkas di Cijantung telah mengeluarkan beberapa unit alat tempurnya memasuki pusat kota Jakarta. Itu pula sebabnya ia dan pasukannya diperintahkan untuk mengamankan gedung-gedung vital pemerintahan dari segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sore jelang malam ... gedung DPR-MPR telah kosong ... seluruh massa yang ada di dalam gedung pada hari-hari sebelumnya dievakuasi keluar dari gedung tersebut.
KRITIK ATAS GERAKAN 1998
- Proses REFORMASI yang dipilih sebagai jalan keluar dari krisis kepemimpinan nasional pada saat itu mnejadi bumerang bagi proses pemindahan kekuasaan. Logika REFORMASI yang masih tunduk pada produk hukum dan perundang-undangan yang tidak adil blunder ketika proses peralihan kekuasaan dilakukan. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar massa dan mahasiswa yang terlibat dalam perjuangan gerakan REFORMASI masih terbelenggu dengan logika FORMAL dan tidak terlatih untuk menggunakan logika DIALEKTIS yang lebih relevan dalam menyikapi pemerintahan anti-rakyat yang berlindung di balik baju besi produk hukum dan perundang-undangan (sebuah kumpulan produk hukum dan perundang-undangan yang memang mereka susun, terbitkan dan sosialisasikan untuk melindungi kepentingan politik kekuasaan mereka).
- Jika proses REVOLUSI yang dilakukan pada saat itu, maka proses pemindahan kekuasaan harus berada di tengah-tengah massa rakyat dan tidak dilakukan secara eksklusif di sebuah gedung yang menjadi pusat kekuasaan yang sedang ditentang dan dilawan. Artinya logika hukum yang ada harus diuji kembali dengan hakikat dibentuknya hukum dan tujuan asasi dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Andai proses ini yang ditempuh, maka seketika setelah gedung MPR-DPR dikuasai, seluruh aktifis segera merapatkan barisan dengan membentuk perwakilan rakyat sementara yang berisi orang-orang pilihan yang mewakili seluruh unsur gerakan dan kelompok-kelompok yang berkepentingan atas terjadinya perubahan (termasuk didalamnya adalah unsur-unsur dari beragam sektor dalam masyarakat --Buruh, Tani, Pengusaha, Kaum Perempuan, Mahasiswa, Pelajar, Cendekiawan, Kaum Profesional, dan Kaum Miskin Perkotaan serta Pedesaan; Perwakilan Masyarakat Adat, dan Perwakilan Daerah-daerah ... termasuk didalamnya daerah-daerah konflik --Aceh, Timor-Timur, dan Papua). Tugas dari perwakilan rakyat sementara ini adalah: menyusun payung hukum untuk proses transisi pemerintahan secara demokratik sekaligus membangun koridor hukum bagi proses transisi kekuasaan, membentuk Pemerintahan Darurat di tingkat pusat dan di daerah termasuk di daerah konflik dengan memperhatikan kekhususan persoalan konflik yang terjadi, dan menyusun payung hukum bagi proses peralihan komando dari Pemerintahan Lama ke Pemerintahan Darurat yang dibentuk. Tugas Pemerintahan Darurat adalah melakukan perlucutan kekuasaan di pusat dan daerah dengan membentuk Pemerintahan Darurat di tiap-tiap tingkatan, membentuk laskar rakyat manakala militer yang ada menolak tunduk dibawah Pemerintahan Darurat, melakukan proses persiapan yang diperlukan bagi pembentukan secara demokratik perwakilan rakyat yang baru untuk menggantikan perwakilan rakyat sementara dan bersama-sama dengan perwakilan rakyat baru yang dibentuk secara demokratis membentuk pemerintahan yang baru guna menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi-politik-hukum yang membelenggu saat itu.
- Polemik soal proses REFORMASI dan proses REVOLUSI mencuat manakala timbul pertanyaan bagaimana proses alih kekuasaan akan dilakukan. Beberapa kelompok gerakan nampaknya sengaja memandulkan alternatif proses REVOLUSI dengan memunculkan "hantu REVOLUSI AKAN MEMAKAN ANAK2NYA SENDIRI". Sejatinya ... penghindaran pilihan proses REVOLUSI semata-mata lebih disebabkan ketakutan aktifis gerakan yang masih memelihara mental manjanya. Mental manja yang saya maksudkan adalah ketakutan bergulirnya bola salju REVOLUSI tidak dapat mereka kendalikan ... padahal sejatinya ... ketika bola salju REVOLUSI bergulir, arahnya tidak lagi dikendalikan oleh kelompok aktifis yang berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke atas ... tetapi sepenuhnya akan dikendalikan oleh kehendak mayoritas atau bahkan juga seluruh rakyat yang turut berproses bersama dalam REVOLUSI.
- Gerakan REFORMASI 1998 yang secara faktual memang maju bertempur bersama elemen masyarakat yang lain, tetapi secara ideologi gerakan REFORMASI 1998 memanipulasi kesadaran massa rakyat sehingga massa rakyat secara "sukarela" memberikan blanko cheque kekuasaan kepada masyarakat sipil yang sebenarnya kepentingannya atas proses perubahan adalah menyelamatkan keistimewaan-keistimewaan yang telah diberikan oleh dan selama kekuasaan pemerintahan lama berjalan. Itu sebabnya, perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Habibie (yang sebenarnya adalah bagian dari proses penyelamatan Soeharto dari jeratan hukum --yang pastinya atas konsesi-konsesi tertentu) tidak optimal dan akhirnya hanya selesai dengan terpilihnya Alm. KH. Abdulrahman Wahid dan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih setelah Habibie.
- Naiknya alm. KH. ABdulrahman Wahid sebagai Presiden RI sebenarnya adalah kecelakaan sejarah yang menguntungkan bagi proses gerakan REFORMASI. Hal ini nampak betul dari kebijakan-kebijakannya yang menyengat sisa-sisa kekuasaan lama yang masih menjamuri pemerintahannya, namun karena polarisasi yang memecah kohesitas gerakan REFORMASI 1998, kebijakan-kebijakan politiknya yang kontroversial ini menjadi tidak populis di mata masyarakat. Celakanya pula ... peluang ini bukannya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh gerakan REFORMASI untuk menuntaskan perjuangannya, malah gerakan REFORMASI mengamputasi potensi keberhasilan gerakan dengan mendukung proses impeachment atas presiden Abdulrahman Wahid ... pun bagi eksponen yang lainnya adalah dengan tidak melakukan dukungan optimal atas pemerintahannya.
Ketika situasi sudah menjadi bubur saat ini .. mau tidak mau bubur ini harus diolah agar masih dapat dinikmati daripada menjadi basi dan dijamuri oleh kekuasaan lama yang saat ini sudah mulai menunjukkan kekuatannya untuk kembali ke tampuk kekuasaan. Memang ... ada sebagian pendapat yang menghendaki bubur ini dibuang saja dan menanak nasi yang baru ... namun tetap saya memberi ingatan agar proses yang hendak dipilihnya itu harus dipikirkan dan direncanakan benar-benar agar tidak kandas di tengah jalan. (FW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H