Oleh Fransisco Xaverius Fernandez
Saat melihat anak-anak yang sedang bermain di jalanan depan rumah kami. Penulis langsung teringat kepada suatu kisah yang pernah diceritakan oleh seorang sahabat. Â
Kejadian di suatu kompleks perumahan. Ada dua anak di mana orang tua mereka bercerai, kemudian mereka di ambil oleh nenek mereka. Namun karena si nenek tidak sanggup menjaga mereka akhirnya mereka dikembalikan ke orang tua mereka.
Di sinilah masalah terjadi. Si nenek adalah dari pihak Ibu, sedangkan si ibu bekerja ke luar daerah sehingga tidak bisa mengajak mereka. Akhirnya mereka diambil oleh sang Bapak yang tidak punya pekerjaan tetap. Walaupun pekerjaan semula adalah supir.
Singkat cerita si Bapak menikah dengan seorang janda yang membawa anak. Dan merekapun kini memiliki bayi mungil, akibatnya dua anak tadi tidak ter'pegang'. Ditambah ada anak bawaan si ibu. Syukur-syukur mereka tinggal di perumahan yang banyak mengawasi mereka.
Sedangkan ada sekelompok anak lainnya berasal dari keluarga baik. Artinya orang tuanya lengkap dan kebetulan terdidik dengan baik. Alhasil mereka cukup terjaga dari pengaruh buruk dua anak lainnya. Satu hal yang kami kagumi dari orang tua si dua anak pertama tadi tidak marah jika kami menegur anak-anak mereka. Demikian cerita sang teman tadi.
Jika dilihat dari dua jenis keluarga di atas, kita bisa menyimpulkan ada dua dasar dalam keluarga tadi. Yaitu dasar 'baik' dan 'buruk'. Yang baik menghasilkan anak-anak yang baik dalam aktifitasnya. Mereka tahu kapan harus bermain dan kapan harus pulang. Mereka juga tahu bagaimana menghormati orang tua dan bersikap di depan orang tua. Yang lain dari keluarga 'buruk' lebih condong ke suka-suka mereka. Namun kami tetap mengawasi dan mengingatkan mereka dalam hal ini.
Bicara mengenai dua dasar tersebut tidak jauh dari sisi bijaksana. Menurut KBBI bijaksana diartikan sebagai selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); arif; tajam pikiran; atau pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan sebagainya) apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya:
Sedangkan kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya), atau kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya.
Penulis akan mengambil contoh di atas bagaimana konsep bijaksana tersebut bisa dijelaskan.
Bijaksana dalam berumah tangga adalah salah satu contoh untuk memulai tugas Tuhan melangsungkan hidup. Salah satunya adalah saling mencintai dan saling mengenal. Walaupun dalam beberapa tradisi yang Penulis ketahui, ada yang tidak setuju dengan masa perkenalan yang banyak di sebut sebagai masa pacaran.
Di sinilah bedanya konsep yang penulis pahami. Masa perkenalan calon pasangan bukanlah seperti masa pacaran anak-anak remaja yang maunya enak saja. Tapi suatu masa yang memerlukan keterbukaan tulus untuk mengenal calon pasangannya. Misalnya bagaimana kehidupannya, kepribadiannya, pekerjaan dan visi misi berkeluarga.
Ternyata menjadi bijaksana tidak mudah. Perlu usaha terus menerus dan terukur.
Pertama adalah berdoa. Mohon karunia kebijaksanaan. Mungkin pembaca pernah membaca kisah Nabi Salomo atau dalam nama Islamnya adalah Sulaiman. Di mana ia tidak meminta kekayaan. Ia hanya meminta kebijaksanaan tahu mana yang benar dan salah ketika mau mengambil keputusan. Maka Tuhan mengabulkannya dengan memberikan masalah tentang siapa sebenarnya ibu dari seorang bayi yang masih hidup ini.
Kedua , mari kita mengenal diri dan kemampuan diri. Lalu percayalah pada kemampuan diri namun tetap banyak belajar terutama tentang hidup. Bahwa setiap manusia punya masalah hanya bagaimana menyikapinya. Bagaimana memandang suatu masalah dari kaca mata Tuhan. Bagaimana jika berhadapan dengan orang lain. Mereka juga punya masa lalu, namun bukan untuk menghambat langkahnya namun justru untuk memotivasinya. Dalam konsep ini kita harus memiliki visi dan misi jauh ke depan. Berani menuliskannya dalam buku mimpi dan dalam perjalannya harus jujur dan menjaga kepercayaan semua pihak.
Ketiga, dalam setiap langkah dan keputusan janganlah berlebihan dalam berfikir , berkata dan berbuat. Artinya kita harus tetap hati-hati dan banyak pertimbangan setiap berfikir dan berencana. Karena terkadang pikiran dan suara hati bisa bertentangan. Maka jika semua ini terjadi , satu-satunya yang perlu kita dengar adalah suara hati yang di bawa dan dipasrahkan dalam doa. Kemudian setiap proses yang dilalui harus kita hargai dan di evaluasi dengan jujur dan tulus. Karena kita bisa merencanakan sesuatu tapi proses tidak bisa kita prediksi dengan 100% tepat.
Jika kita bisa melalui tiga langkah ini maka kita akan mendekati menjadi pribadi yang bijak.
Semoga.
===
Praya, 3 Desember 2022
Menanti Sang Fajar yang pasti datang
Dari Guru Opa Frans yang sedang belajar bijak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H