Oleh Fransisco Xaverius Fernandez
Kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana semangatnya teman-temanku berlatih bernyanyi dalam paduan suara penuh harmoni.
Apapun suaranya akan disumbangkan asal ada harmoni tercipta dalam indahnya sebuah nada. Yang teringat dalam benak para guru adalah jasa sang guru. Siapakah yang tetap mengingat jasa sang guru jika tidak guru itu sendiri?
Banyak sih basa-basi pada mulut-mulut cantik bergincu tentang guru.
"Jasamu guru sungguh luar biasa. Terimakasih guruku..." seorang siswa yang cantik mengungkapkan terimakasihnya entahlah dengan tulus atau tidak. Bagiku itu sudah cukup ketika pundi-pundi yang masuk ke kantong belum mencukupi untuk menutupi segala pengeluaran yang ada.
"Kamu kenapa begitu sembrono mengatur uang , kawan. Masak tidak bisa mengaturnya seperti aku?" seorang teman dengan penuh motivasi memberikan segala petuah khas guru. Aku kaget ditegur sang teman di saat aku asyik mendengar harmoni Paduan Suara. Apakah karena aku belum nyetor kepadanya?
"Aku hanya seorang guru di desa saja bisa hidup. Masakan kamu di kota tidak bisa?" ia menyambung kalimatnya tadi padaku yang gelagapan tak sanggup mengeluarkan kata-kata.
"Kok bisa begitu ?"tanyaku polos penuh perhatian pada sang motivator guru desa.
"Makanya kamu garap tanah orang tuamu. Aku saja yang punya tanah lima hektar kugarap sendiri, dengan uang orang tuaku. Ku panggil para pekerja. Jadi walaupun aku seorang guru bergaji kecil namun aku mampu memberi gaji para pekerja upahan dengan uang orang tuaku. Lalu aku menabung gajiku yang tidak seberapa itu ditambah dengan uang sertifikasi!"
Aku terpesona dengan lagu merdu sang guru motivator yang selalu menyimpan gajinya di bank. Sedangkan segala kebutuhan sehari-hari biarlah dari uang orang tua, toh mereka masih sayang kepada mereka walaupun sudah beristri dan beranak banyak.