Bermula dari kekalahan kubu Prabowo dalam pilpres terhadap kubu Jokowi, dimana Prabowo tidak menerima kekalahan tersebut dengan berbagai alasan lalu ditingkatkan masalah ini ke MK. Dalam putusan MK memenangkan Jokowi sebagai presiden terpilih dan menolak permohona kubu Prabowo yang diajukannya.
Kemenangan Jokowi pada pilpres tersebut berkaca pada penampilan politik Indonesia sebelumnya lalu memilih dan menawarkan dalam kampanyannya untuk tampil beda, mengedepankan  presidensial yang dianut sesungguhnya berdasarkan UUD 45, tidak bagi-bagi kursi dalam kabinet bila mendapatkan kepercayaan rakyat dan revolusi mental bagi penyelenggara negara dan mental rakyat Indonesia.
Tampil beda ini tentu saja berbeda dengan pandangan politik partai-partai yang tergabung pada kubu Prabowo. Bahwa mereka sudah terbiasa dengan sistem yang sudah dianut sebelumnya bahwa kekuasaan dalam perpolitikan itu harus ditransaksikan agar siapapun yang menang dapat berjalan mulus tanpa halangan dan yang kalah dapat pula menikmati kemenangan tersebut.
Didalam koalisi Prabowo, hampir semua partai yang tergabung didalamnya, para elitnya tersangkut masalah hukum, namun mereka percaya diri bahwa kemenangan Jokowi hanya berselisih tak jauh dengan perolehan suara Prabowo, berarti rakyat mendukung mereka juga, dengan demikian masalah moral dan etika perpolitikan dapat dikesampingkan.
Dapat dicatat disini bahwa pada waktu menjelang pilpres ektabilitas Jokowi sangat menonjol dengan tema-tema tampil beda tadi, dibandingkan dengan Prabowo yang ketiggalan jauh. Dengan mengusung tema-tema untuk menang dengan segala cara, oleh kubu Prabowo sadar atau tidak, sengaja atau tidak terasa sekali kampanye hitam secara masif merebak kesegala penjuru, menjatuhkan pribadi Jokowi dengan isu SARA, dengan tujuan meningkatkan elektabilitas Prabowo. Dan ternyata ampuh sekali cara ini, jelas sekali peningkatan ektabilitas Prabowo pada saat-saat terakhir menjelang pemilihan presiden. Diperkirakan bila hari H pilpres diundur 10 hari lagi maka tidak tertutup kemungkinan Prabowo akan mengalahkan Jokowi.
Kalah dalam Pilpres maka kubu Prabowo terlihat mendapatkan peluang di parlemen kerena secara hitungan mereka menang dalam jumlah suara. Perkiraan ini terbukti kubu Prabowo mengalami kemenangan di DPR maupun MPR dengan sebelumnya mereka mendesain undang-undang yang mengharuskan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Hal ini dapat terlaksana dan sukses berkat juga bantuan PD dan SBY, bermain diarena hitam dan putih, dan tak percuma dengan permainan ini maka PD mendapat jatah kursi pimpinan di parlemen.
Inilah politik ril yang terjadi di Indonesia yang harus diterima oleh seluruh bangsa Indonesia, dan seluruh rakyat yang terkena imbasnya tak perlu cengeng dan mengeluh. Tunggulah 5 tahun lagi untuk menilai semua partai dan anggota parlemen yang dipilih, dan hukumlah mereka yang ingkar janji dan  hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan sesaat.
Jelas dalam 5 tahun kedepan akan terjadi cek dan balance antara eksekutip yang dilaksanakan oleh Jokowi-JK bersama legislatip yang dikuasai oleh kubu Prabowo. Jokowi-JK harus menunjukan dengan serius tema tampil beda mereka dimana tumpuan rakyat sangat mendukung program pro rakyat ini.
Masalahnya ada diparlemen dimana terlihat sekali bahwa lahirnya DPR dan MPR baru ini terkesan kurang berkenan di hati rakyat serta pengamat, dimana semua yang dihasilkan berbau gaya lama, mementingkan kelompok dan bagi-bagi kekuasaan,  cenderung jangka pendek tak terkonsep dan tak terpola untuk jangka panjang bagi bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan dunia yang penuh persaingan  ketat.
Selama cara lama bagi-bagi kursi dan kekuasaan diperlihatkan oleh kubu Prabowo dalam pemilihan pimpinan, baik itu di DPR maupun di MPR, apalagi dengan maksud menjegal program-program Jokowi dalam pemerintahannya, maka kita sebagai bangsa jangan terlalu berharap banyak akan hasil akhirnya bagimensejahterakan rakyat.