Mohon tunggu...
Fransescorner
Fransescorner Mohon Tunggu... Guru - Penikmat kopi Flores Bajawa dengan motto : Start by doing what’s necessary; then do what’s possible; and suddenly you are doing the impossible

www.fransescorner.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak adalah Pusaka

16 Desember 2018   21:42 Diperbarui: 16 Desember 2018   21:57 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Minggu ini hampir semua sekolah khususnya di Ibukota diramaikan dengan acara terima raport semester ganjil. Dan saya sebagai orangtua juga termasuk didalamnya. Hehehehe... Fenomena yang terlihat di beberapa tempat adalah ada yang anaknya pulang dengan wajah sedih karena ada nilai yang belum masuk dalam KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), kalau dulu intinya nilai merah.

Selain itu ada juga ada anak yang wajahnya gembira, berseri - seri namun ada juga yang berwajah biasa saja layaknya jawaban anak jaman now kalau ditanya kabar, jawabnya biasa saja bukannnn. Itu fenomena dari sudut pandang anak atau yang lebih dikenal dengan peserta didik. 

Dari pemandangan orangtua juga tidak kalah menarik, ada orangtua yang tidak terima anaknya dapat nilai seperti yang tercetak, tidak sedikit juga orangtua yang hanya biasa saja termasuk yang gembira karena anaknya nilainya bagus atau meningkat. Fenomena - fenomena diatas merupakan sedikit pengalaman kecil dari perjumpaan saya dengan para orangtua, peserta didik dibeberapa sekolah.

Namun jika ditelisik lebih jauh, kebanyakan orangtua ketika terima raport masih menanyakan pertanyaan klasik "anak saya ranking berapa?" Tentunya pertanyaan ditujukan kepada para wali kelas. Untungnya saya dan beberapa orangtua lain tidak menanyakan pertanyaan tersebut, mengapa ? Sebelum saya menjawab ada juga hal menggelitik yang perlu sampaikan juga tentang kalimat beberapa orangtua demikian bunyinya "kamu gimana sih kok cuma dapat 90?" WOW banget bukan apalagi ditambahi bumbu sedap yang dinamakan perbandingan. Contohnya "coba kamu lihat Andri tuh nilainya bisa 95."

Saya memang berprofesi sebagai Guru, namun dalam hal ini saya ingin melihat dari perspektif peserta didik. Hal pertama yang ingin saya tanggapi adalah soal RANKING. Setiap anak adalah pribadi yang unik. Disebuah acara talkshow pendidikan salah satu pembicara berkata demikian "mana lebih hebat padi atau kacang?" jawabannya tentunya bukan mana lebih hebat karena baik padi dan kacang mempunyai keunikan, kelemahan, kelebihan yang tidak bisa dibandingkan.

Demikian juga dengan anak - anak, setiap anak mempunyai keunikan, kelemahan dan kelebihan masing - masing dan TIDAK BISA DIBANDINGKAN. Dalam buku karangan Stephen Covey dikatakan juga "apa hebatnya orangtua yang memaki, meneriaki, menampar bahkan membandingkan anaknya demi sebuah pengakuan publik?" Hal kedua yang ingin saya tanggapi mengenai nilai 90 dan sejenisnya. Mungkin kebiasaan lain selain membandingkan adalah kurangnya memberi penghargaan tepatnya jika saya meminjam bahasa orang bijak adalah "membesarkan hati."

Banyak anak saat ini dihadapkan pada citra diri yang bisa berbeda - beda, di rumah alim, di sekolah berbeda demikian juga di sosial media lebih berbeda lagi. Menariknya follower di sosial media sangat banyak namun di sekolah temannya sedikit. Ini fakta yang sering terjadi saat ini. Lalu kita mungkin bertanya kok bisa ya? Jawabnya jelas bisa karena jika di rumahnya tidak mendapat penghargaan maka dia akan mencari ke tempat lain salah satunya sekolah,namun jika tidak mendapatkan juga maka sosial media lah sebagai jalan yang paling sering ditempuh. Saya sering menemui anak - anak yang berbeda antara di sekolah dan di sosial media.

Di sekolah anaknya pendiam namun di sosial media sangat ekspresif, ada juga yang di sosial media pendiam namun di sekolah gaul dan ada yang SAMA baik di sekolah maupun di sosial media. Jika saya jelaskan lebih detail tentunya tidak akan habis mengenai fenomena jaman now ini. Kata kunci diawal yang saya gunakan adalah citra diri dan membesarkan hati. "Anak - anak yang tumbuh dengan kebiasaan yang dibesarkan hatinya oleh orangtuanya pada umumnya citra dirinya positif baik di dunia nyata maupun maya "- demikian kata seorang pakar.

Kembali pada fenomena orangtua yang menuntut lebih anaknya dari 90 ke angka yang lebih tinggi, apakah salah? Kalau saya diminta menjawab maka saya akan mengatakan bahwa bukan benar salah namun apakah kita sebagai orangtua SUDAH membesarkan hati anak kita dengan kalimat "nak, Papa / Mama BANGGA dengan pencapaianmu, semester depan PASTI bisa lebih baik lagi yak." Saya rasa anak - anak akan lebih menerima dengan lapang dada dan akan lebih bersemangat dibandingkan dengan membandingkan angka 90 dengan 95 plus bumbu perbandingan dengan anak orang lain. INGAT anak kita adalah kebanggaan dan cerminan kita terlepas dari kelemahannya ! 

Tulisan ini tentunya hanya percikan kecil saja dari fenomena yang saya dapatkan diatas. Bukan bermaksud menggurui karena walaupun saya seorang Guru, saya juga orangtua yang terus menerus harus memperbaiki diri dan belajar supaya bisa jadi role model yang baik sehingga anak - anak saya mempunyai citra diri yang baik. Mengutip quote Ki Hajar Dewantara "Anak adalah pusaka." Selamat menjadi orangtua yang bisa membesarkan hati anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun