Baru-baru ini kita dengar di berbagai penjuru Indonesia mengadakan demo untuk membubarkan ormas-ormas yang memiliki paham radikalisme dan intoleransi. Bagaimana tidak, masyarakat mulai gerah di saat toleransi dan rasa persatuan diandalkan untuk membuat negara ini tetap damai, namun ada saja oknum bahkan kelompok yang mencoba menghancurkan persatuan negara ini. Dengan berbekal sara, suku, agama, segala macam hal yang dianggap 'perbedaan' dijadikan alasan untuk merobek terang-terangan rasa kebersamaan yang telah tercipta sejak dahulu. Oknum atau kelompok ini sedikit demi sedikit menggerogoti citra baik ditengah masyarakat menjadi penyakit menular yang membuat orang saling bertentangan satu sama lain. Banyak orang perlahan-lahan menjauhi nilai-nilai toleransi.Â
Masyarakat mayoritas mulai merasa diri terancam pada kaum minoritas yang jelas-jelas sebenarnya paling membutuhkan dukungan dan perlindungan. Muncullah para tokoh-tokoh yang muak akan gerakan radikalisme dan intoleransi. Satu per satu tempat muncul pejuang persatuan, Kalimantan khususnya adalah daerah aman bagi etnis, suku dan budaya yang beragam macam, enggan menerima paham intoleransi dan radikal. Selain itu, gerakan-gerakan dari berbagai daerah mulai bermunculan untuk mendesak pemerintah membubarkan ormas yang tidak dapat menerima perbedaan-perbedaan suku, agama, dan ras tersebut.Â
Beberapa ahli mencatat, bahwa tingkat intoleransi di negara Indonesia mengalami batas kritis atau sangat tinggi. The Wahid Institute, dalam laporan akhir tahunnya, mencatat tindak intoleransi yang terjadi pada 2011 berjumlah 184 kasus, atau sekitar 15 kasus terjadi setiap bulannya. Angka ini berarti naik 16 persen dari tahun 2010 yang hanya berjumlah 134 kasus. Bentuk tindakan intoleransi paling tinggi, menurut Wahid Institute adalah intimidasi dan ancaman kekerasan mengatasnamakan agama yakni sebanyak 48 kasus (25 persen).Â
Tindakan berikutnya yang juga tinggi adalah pernyataan dan penyebaran kebencian terhadap kelompok lain, yaitu sebesar 27 kasus (14 persen), lalu pembakaran dan perusakan properti, dengan 26 kasus (14 persen), serta diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan, dengan 26 (14 persen). Sedangkan jika dilihat dari sebaran wilayahnya, Jawa Barat adalah wilayah dengan tingkat intoleransi paling tinggi dengan 105 kasus atau sekitar 57 persen. Posisi Jawa Barat sama seperti tahun lalu, namun tahun ini jumlahnya  meningkat drastis dari tahun lalu yang hanya 44 kasus atau naik sekitar 150 persen. Daerah berikutnya adalah Jawa Timur dengan  17 kasus (9 persen), Jawa Tengah sebanyak 15 kasus (8 persen), DKI Jakarta  sebanyak 13 kasus (7 persen),serta Riau 9 dengan kasus (5 persen).Â
Front Pembela Islam agaknya bukan ormas kemaren sore yang hadir dan dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai ormas yang agak radikal dan intoleransi. Menurut data yang diambil pada tahun 2011, FPI telah melakukan tindakan intoleran terhadap kebebasan beragama sebanyak  38 kali (18 persen). Tindakan FPI ini diikuti kelompok massa terorganisir lain sebesar  32 kali (15 persen). Sementara itu, pemerintahan kabupaten/Kota juga ikut andil dalam tindak intoleran, dengan angka sebanyak 22 kali (10 persen), lalu disusul massa tidak teridentifikasi sebanyak  19 kali (9 persen), Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebanyak 17 kali (8 persen), polisi dengan  16 kali (8 persen), serta perorangan sebanyak  14 kali (7 persen).Â
Sedangkan dalam kategori korban, selama tahun 2011 ini, Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang paling sering menjadi korban tindak intoleransi karena keyakinan mereka dianggap berbeda dari mainstream umat Islam dengan kasus sebanyak 65 kali (26 persen). Korban berikutnya adalah individu yang dianggap berbeda dari mainstream, yaitu sebanyak 42 kasus (17 persen), lalu pemilik usaha atau pedagang sebesar 24 kasus (10 persen),serta umat Kristen sebanyak 20 kasus (8 persen). Tindak intoleransi tertinggi terjadi pada Maret 2011 dengan 33 kasus, diikuti Februari sebanyak 22 kasus, Agustus sebesar 20 kasus, serta Juli dengan 19 kasus. Bayangkan, betapa besarnya tingkat intoleransi yang dilakukan oleh FPI tersebut.Â
Data terbaru mengatakan bahwa selain FPI, pelanggaran terhadap toleransi di Indonesia juga dilakukan oleh oknum non-pemerintah, Aliansi Masyarakat Islam, dan Majelis Ulama Indonesia sebanyak 135 kasus. Data ini diperoleh dari Direktur Riset Setara Institut, Ismail Hasani. Hasani mengatakan bahwa telah terjadi 134 peristiwa dan 177 tindakan intoleran selama tahun 2014. Koordinator Desk KKB Komnas HAM, Jayadi Damanik menginformasikan bahwa sejak 2014 hingga 2016 terjadi peningkatan aduan. Tahun 2014 tercatat 74 pengaduan, meningkat menjadi 89 aduan pada 2015. Enam bulan pertama 2016 tercatat 34 kasus pelanggaran.
Dengan situasi politik dan sosial saat ini, dapat dipastikan sikap intoleransi ormas-ormas tersebut ditunggangi oleh gerakan politik. Bukan hal mengada-ngada dan tanpa dasar yang jelas dan bukan kebetulan pula jika oknum ormas ini ikut terlibat dalam aksi-aksi politik. Contohnya dalam kasus tokoh pemerintahan DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau kita kenal Ahok, bagaikan parodi politik yang menggelikan. Sebuah aksi seorang Ahok menanggapi tuntutan ormas yang terlibat, FPI salah satunya memberikan perlawanan keras karena sebuah pendapat seorang Ahok di Pulau Pramuka.Â
Menurut penulis sendiri sesungguhnya hal ini tidak perlu dibesar-besarkan, tetapi hal tersebut diterima Ahok secara gentlemen. Satu per satu tokoh dan ahli dimunculkan, namun sayang sekali, ternyata beberapa tokoh yang direferensikan memberikan kesaksian palsu, identitas palsu, pernyataan palsu yang akhirnya membuat penuntut mundur. Polisi tidak tinggal diam, salah satu saksi ahli Irena Handono yang diketahui bukan seorang mantan biarawati dilaporkan karena telah memberikan pernyataan palsu. Hanya untuk memuaskan keinginan politik yang harus satu 'aliran' atau satu agama, FPI berusaha keras dengan berbagai cara menumbangkan aktor politik yang tidak disukainya. Di mana sebenarnya citra masyarakat Indonesia yang penuh toleransi? Harapannya bukan sekedar teori yang didapat pada pelajaran PPKn di waktu SD saja.Â
Sebagai negara yang plural, berbeda-beda suku, agama, ras serta budaya, seharusnya kita meningkatkan rasa toleransi dan tenggang rasa. Alangkah indahnya Idonesia dengan kekayaan yang ada di dalam perbedaan. Itu bukan menjadi alasan bagi oknum atau kelompok untuk enggan bersatu. Karena kita ini Indonesia, maka kita memiliki paham Pancasila dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika. 71 Tahun merasakan kemerdekaan, tetapi penjajahan akan hidup beragama, berpendidikan, berpolitik, bersosial dan segala bidang diberi batas-batas yang tidak adil.Â
Agaknya heran jika kita dikenal dunia dengan negara yang penuh toleransi, tetapi di masa ini semua telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Kita yang justru harus malu, karena anak bangsa banyak meniru budaya-budaya asing. Kita tidak memperkenalkan citra bangsa kepada generasi penerus sebagai citra Indonesia. Citra yang penuh perdamaian, persatuan, menghargai perbedaan, toleransi antarumat beraga, toleransi antarasuku bangsa, dan berbagai nilai luhur yang sejak dahulu telah dipertahankan oleh pendahulu kita.Â