Hasil survey muktahir yang dirilis oleh LSI dan empat lembaga (CSIS, PUSKAPOL FISIP UI, LP3ES dan P2P LIPI) benar-benar mengejutkankan bagi PKS. Hasil survey tersebut tak ubahnya ibarat petir di siang bolong. Bagaimana tidak? Hasil survey itu menunjukkan stagnasi, bahkan penurunan signifikan tingkat elektabilitas PKS. Survey LSI bulan Februari 2009 menunjukkan tingkat elektabilitas PKS sebesar 6,3%. Hasil survey empat lembaga tersebut di atas menempatkan PKS pada posisi keenam dengan perolehan suara 4,07%. Hasil survey empat lembaga juga berkesimpulan bahwa partai-partai islam mengalami stagnasi atau berpotensi menurun, tesis karakter ‘predator’ PKS tidak lagi tepat. Bahkan hasil survey dari Indonesia Political Marketing Research (IPMR) salah satu anak perusahaan Markplus Insight menyebutkan PKS hanya menempati posisi keenam setelah partai baru, Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Apabila dibandingkan dengan hasil pemilu 2004 dimana PKS memperoleh 7,34% jelas ini merupakan penurunan yang signifikan. Hal ini benar-benar tidak mereka perkirakan sebelumnya. Bagi kader PKS mereka merasa sudah bekerja dengan baik dan benar, sehingga sesuai dengan kebijakan partai, ekspetasi mereka sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan target PKS pada pemilu 2009 yaitu memenangkan 20% suara. Menurut petinggi PKS target tersebut realistis. Tapi, angka 20% bukanlah angka yang kecil. Itu sama dengan tiga kali lipat hasil perolehan PKS pada pemilu 2004. Ekpetasi yang tinggi inilah yang menyebabkan keterkejutan bahkan kepanikan di kalangan PKS. Salah seorang petinggi PKS sempat meminta kader dan konstituennya untuk tetap tenang dan tidak memerdulikan hasil survey. Tapi, tetap saja muncul tanda tanya besar mengapa fenomena stagnasi dan penurunan suara bisa terjadi sementara mereka merasa sudah berkerja keras, sungguh-sungguh, baik dan benar.
Hasil survey baru menunjukkan angka yang mencerminkan ukuran tertentu. Survey baru menjawab seberapa besar? Survey belum menjawab pertanyaan mengapa terjadi stagnasi atau bahkan penurunan suara? Secara teori penjelasan yang paling banyak dipakai untuk menjelaskan fenomena ini adalah konsep politik aliran. PKS dari sejak awal pendiriannya dipersepsikan sebagai partai kanan, sedangkan sebagian besar masyarakat Indonesia berpandangan moderat (tengah). Jadi berdasarkan pandangan ini akan sangat sulit bagi PKS untuk meningkatkan tingkat elektabilitasnya kecuali bergeser ke tengah. Hal ini sudah disadari oleh para petinggi partai, sehingga mulai bergeser ke tengah. Membangun citra sebagai partai religius yang nasionalis, partai kaum muda, partai untuk semua, dan lain sebagainya. Upaya itu sudah dilakukan tapi mengapa tetap saja tidak bisa menaikkan tingkat popularitas PKS secara signifikan seperti fenomena PKS tahun 2004!
Menurut analisis penulis ada tiga hal yang bisa menjelaskan hal ini. Pertama; PKS menetapkan standar yang tinggi bagi kadernya, hal ini tercermin dari motto PKS yakni bersih, peduli dan profesional. Standar tersebut akhirnya menjadi semacam code of conduct, aturan dasar dalam berprilaku. Citra ini pada awalnya berhasil, artinya masyarakatpun mempersepsikan demikian. Apa yang dipersepsikan masyarakat akhirnya menjadi reputasi bagi kader PKS, yang menjadi sulit adalah mempertahankan reputasi tersebut. Sedikit saja kesalahan bisa menjatuhkan. Bagi masyarakat apabila seorang mengaku bahwa dia bukanlah orang baik-baik kemudian berbuat kesalahan masyarakat akan menganggapnya wajar. Lainnya halnya apabila seseorang mengaku bahwa dia orang “bersih” kemudian berbuat kesalahan, maka masyarakat akan sulit menerimanya. Sebagai contoh kasus terkini adalah tuduhan keterlibatan RP dalam kasus suap proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur. Substansinya bukan pada tuduhan menerima suap, tapi pengakuan RP mengenai kehadiran atau ketidakhadiran pada pertemuan informal membahas proyek tersebut. Semula RP tidak mengaku bahkan sempat akan mensomasi AHD, petinggi partai pun mengatakan itu fitnah! Setelah ada bukti baru ada pengakuan. Sebuah pengakuan yang terlambat!
Penjelasan kedua adalah terkait dengan isu-isu yang diangkat oleh PKS, bukan berarti salah tapi ada yang bermasalah. Salah satu contoh adalah ketika dalam sebuah iklan politik PKS menyatakan bahwa Soeharto adalah guru bangsa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Pak Harto banyak berjasa bagi negara, tapi fakta sejarah menunjukkan bahwa beliau ada juga kesalahan dan kesalahan tersebut tidak mudah dihapus begitu sajak dalam benak masyarakat Indonesia. Terutama sekali bagi mereka yang karir dan perjalanan hidupnya terkena dampak dari kebijakan-kebijakan rezim Suharto, bahkan akibatnya pun masih mereka rasakan sampai saat ini. Ditengah mind set seperti itu tiba-tiba PKS mengatakan Suharto adalah guru bangsa, apa yang diinginkan sebenarnya? Contoh lain adalah ketika PKS beriklan di televisi, yang menggambarkan kliping-kliping perseteruan antar tokoh politik di tanah air, kemudian di tengah perseteruan itu PKS menyeru perdamaian. Kalau begitu, apa yang salah? Tidak ada yang salah tapi bermasalah, masyarakat mempersepsikannya PKS memancing di air keruh!
Disamping kedua hal tersebut di atas ada satu faktor lagi yang dapat menjelaskan stagnasi suara PKS. Faktor terakhir ini barangkali bahkan menjadi faktor yang paling signifikan kontribusinya. Bukan rahasia lagi bahwa ada beberapa orang petinggi PKS yang ber-poligami. Penulis tidak ingin berdebat masalah poligami. Penulis juga berkeyakinan sepanjang dapat berbuat adil dan sesuai syariat, poligami bukanlah sebuah kesalahan dan bukan pula dosa. Penulis sependapat jika dikatakan bahwa poligami adalah area privat. Penulis pun berkeyakinan bahwa para petinggi PKS yang ber-poligami memerlakukan istri-istrinya dengan adil. Tapi, coba kita lihat dari sudut pandang dan persepsi masyarakat, sekali lagi dari sudut pandang dan persepsi masyarakat, terutama kaum perempuan. Contoh kasus menarik yang dapat menjelaskan hal ini adalah fenomena Aa Gym. Pada saat media mengekpos perkawinan Aa Gym, respon yang diperlihatkan oleh masyarakat adalah kekecewaan dan penyesalan. Seorang ibu di televisi ketika diminta tanggapannya menangis tersedu-sedu menyesali mengapa Aa Gym menikah lagi. Pengajian Aa Gym yang biasanya ramai oleh ibu-ibu menjadi sepi. Pesantren beliau pun ikut menjadi sunyi. Usaha-usaha beliau ikut terkena dampaknya. Puncaknya media televisi ramai-ramai memboikot Aa Gym. Sampai kini Aa Gym jarang tampil di televisi. Jika kelak suara PKS benar-benar mengalami stagnasi maka petinggi PKS yang ber-poligami ikut andil di dalamnya. Jadi, apa yang diyakini sebagai sebuah kewajaran belum tentu direspon dengan wajar pula oleh masyarakat. Itulah cermin dari cara masyarakat bersikap. Sikap yang akan menentukan cara mereka bertindak. Sikap yang akan menentukan cara mereka mengambil keputusan. Sikap yang akan menentukan cara mereka menentukan pilihan! Mumpung masih ada waktu, semoga jadi bahan introspeksi dan evaluasi bagi PKS.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H