Mohon tunggu...
Frans BM Dabukke
Frans BM Dabukke Mohon Tunggu... -

Peneliti kekhususan makroekonomi, ekonomi pertanian, agribisnis, analisis kebijakan, ekonometrika Penulis, Konsultan dan Pelaku Agribisnis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi Buku: Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik

4 Februari 2014   21:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa terasa krisis ekonomi tahun 1998 besar kemungkinan akan terulang kembali dan mengancam negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan terjadinya krisis keuangan global yang dipicu masalah kredit perumahan kualitas rendah (”subprime mortgage”) di Amerika Serikat.

Saat terjadi krisis finansial Asia 1998, sulit menemukan buku dan publikasi yang ditulis ekonom atau ahli dari Indonesia sendiri.

Hampir seluruh analisis dan pembahasan tentang krisis hanya dapat diperoleh dari penulis asing, terutama yang berkaitan dengan lembaga internasional seperti IMF atau Bank Dunia. Barulah beberapa tahun setelah krisis bermunculan buku dan publikasi yang baik di dalam negeri.

Dalam konteks ini, terbitnya buku yang ditulis ekonom Indonesia seperti A Prasetyantoko ini menjadi sangat faktual dan relevan. Waktu penerbitannya pun tepat bersamaan dengan terjadinya krisis keuangan global sehingga dapat memberi analisis dan deskripsi mengenai krisis itu dengan lebih cepat dan langsung dari salah seorang ahlinya.

Persoalan krisis ekonomi dan krisis keuangan global sangat kompleks, bersifat multi-disiplin ilmu, dan menjadi salah satu perdebatan utama paling intensif dalam 10 tahun terakhir sejak krisis ekonomi di Asia. Penulis menyadari fakta ini sehingga mengarahkan dengan baik format dan gaya penyajian buku ini menjadi antara ilmiah dan populer.

Buku ini masih dapat dengan mudah dinikmati pembaca umum yang kurang memiliki pengetahuan teoretis akademis, seperti mahasiswa, pelaku ekonomi, dan kalangan umum lain. Kalangan umum dapat tetap mengerti maksud dan tujuan analisis buku ini tanpa harus membaca mendalam bagian kedua yang merupakan analisis historis dan empiris teori yang menerangkan krisis ekonomi dan krisis keuangan.

Sementara itu, kalangan akademis, perguruan tinggi, analis, dan pengamat yang memerlukan analisis dan pembahasan lebih mendalam dan bersifat teoretis dapat memperoleh gambaran tidak membosankan dari kronologi atau struktur mazhab/aliran pemikiran teoretis yang menjelaskan tentang krisis ekonomi dan krisis keuangan.

Tesis utama

Dalam buku ini akan dapat dengan jelas kita dapatkan penjelasan tesis utama penulis yang menyatakan, penyebab mendasar krisis keuangan global saat ini adalah kekacauan yang disebabkan instabilitas finansial. Hal itu berdampak tidak hanya merugikan pelaku pasar finansial, tetapi juga pelaku di hampir semua sektor ekonomi lain, termasuk sektor riil. Lebih dari itu semua, seluruh rakyat harus turut menanggung.

Dengan tesis ini, menurut penulis, instabilitas finansial itu pada akhirnya menjadi barang publik. Dengan demikian, sesuai dengan asumsi dasar mazhab heterodoks, termasuk teori regulation yang dianut penulis, yaitu pemerintah harus campur tangan langsung untuk mengatasi permasalahan ini, stabilitas finansial adalah barang publik yang keberadaannya harus dijaga serta diupayakan semua pihak di bawah pimpinan lembaga publik (dalam hal ini pemerintah) yang memiliki tugas utama melindungi kepentingan publik.

Pada tangan pemerintahlah seluruh tatanan finansial ini berakar sehingga pemerintah juga harus dapat mempertanggungjawabkannya kepada publik kembali.

Justru di sinilah letak perbedaan utama mazhab ekonomi ortodoks dengan heterodoks. Dalam campur tangan pemerintah, mazhab ortodoks menganut intervensi minimum dalam mengoreksi kegagalan pasar. Ini pula yang menjelaskan kenapa pola penalangan (bail out) Pemerintah Amerika Serikat berbeda dari pendekatan Eropa.

Dana talangan dari Pemerintah Amerika Serikat dipakai membeli surat utang yang default tanpa membeli saham perusahaan yang bangkrut (nasionalisasi perusahaan bangkrut). Sementara beberapa negara Eropa langsung menyuntikkan dana talangan untuk membeli seluruh atau sebagian besar saham perbankan atau perusahaan keuangan yang merugi atau bangkrut.

Di Indonesia

Analisis dan pembahasan di dalam buku ini menjadi lebih lengkap dan menarik dengan dimasukkannya hasil penelitian disertasi penulis tentang dampak neraca perusahaan (balance sheet effect) perusahaan terbuka di Indonesia.

Menurut penulis, pengaruh kondisi neraca perusahaan dan perbankan menjadi sangat penting dalam mekanisme penyebaran krisis. Melalui penelitiannya ini, penulis menyimpulkan mekanisme balance sheet effects memang terbukti bekerja, yaitu kondisi neraca perusahaan mendorong krisis menjadi semakin dalam dan panjang karena memengaruhi perilaku investasi sektor korporasi.

Yang lebih menarik, implikasi teoretis penelitian ini, yaitu keterkaitan sangat erat antara sektor mikro dan makro dan sektor mikro (riil) di Indonesia kondisinya sangat parah.

Hal itu akan semakin utuh bila kita perhatikan kesimpulan penulis dalam bagian perspektif teori bahwa setiap analisis mengenai krisis ekonomi dan keuangan memerlukan pendekatan multi-disiplin ilmu, multi-pendekatan, dan multi-sektoral.

Indonesia saat ini mulai mengalami fenomena ”sektor keuangan untuk dirinya sendiri dan tidak lagi melayani dan menjadi pelumas sektor riil”, mengikuti fenomena di negara asal krisis keuangan global, Amerika Serikat.

Sektor keuangan tumbuh maju di segelintir bagian negara ini (Jakarta) untuk hanya segelintir orang (kurang dari 0,01 persen pemilik saham dan produk keuangan lain), tetapi hal itu dijadikan gambaran perekonomian Indonesia yang maju. Di sisi lain, dukungan dan keberpihakannya pada sektor riil yang tumbuh di sebagian besar bagian negara ini dan menyangkut hampir 90 persen penduduk Indonesia sangat rendah, yang terlihat dari dua jurus kambing hitam: berisiko dan tidak memiliki agunan (guarantee). Coba bayangkan sekarang, siapa dan sektor apa justru yang paling berisiko dan yang paling keropos dalam kehati-hatian?

Di sinilah kemudian dapat kita lihat, perencanaan, perumusan, dan implementasi strategi dan kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan pemerintah dalam menghadapi krisis keuangan global yang saat ini mengancam Indonesia masih perlu dikritisi dan dilengkapi.

Strategi dan kebijakan pemerintah kurang memberi dukungan serius untuk meningkatkan pertumbuhan sektor riil yang justru menjadi keunggulan perekonomian nasional, memperkuat fundamental sektor riil untuk mampu bersaing di pasar global, dan melindungi sektor riil dari ancaman dan serangan impor komoditas dan produk luar yang dumping, subsidized, dan lain-lain. Dimensi ini yang masih perlu dianalisis dan dibahas dalam setiap pemikiran dan teori tentang krisis ekonomi dan krisis keuangan.

Resensi ini dimuat di Kompas Minggu, 26 Oktober 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun